Ketika asa mulai terasa berjarak, dia datang dan melukiskan harapan yang tak pernah terpikirkan oleh Melodi sebelumnya.
Dalam diamnya yang penuh makna, goresan kuas itu mewarnai kelam pada setiap detik yang berjalan.
Nada-nada yang tercipta melantun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nada, melodi, harmoni ....
Mungkin itu yang akan seseorang pikirkan pertama kali ketika berbicara mengenai musik. Nada-nada yang menciptakan melodi. Harmonisasi yang terbentuk dari keselarasan melodi. Musik yang dapat berbicara lebih lantang daripada hanya sekadar kata-kata. Sebuah medium yang dapat menghantarkan rasa meski lisan terus menerus tertutup rapat.
Saat kecil, Melodi Violita sering bertanya-tanya kenapa ia memiliki nama seperti itu. Apakah karena Mama dan Papa sangat menyukai musik? Atau karena Mama dan Papa ingin Melodi menjadi seorang pemain musik seperti mereka?
Usianya kala itu baru menginjak empat tahun. Melodi tidak pernah bosan bertanya berulang kali meski jawabannya selalu sama.
Karena Mama dan Papa sangat menyukai musik.
Karena Mama dan Papa ingin Melodi menjadi seorang pemain musik yang hebat di masa mendatang.
Tidak ada yang aneh dengan jawaban tersebut. Melodi selalu senang ketika Mama dan Papa bercerita tentang musik. Melodi juga selalu senang ketika Mama dan Papa mengajari Melodi instrumen musik untuk pertama kali. Bahkan ketika Mama maupun Papa bermain musik hingga larut malam, Melodi akan selalu senang mendengarkan meski kedua matanya sangat enggan untuk terus terjaga.
Hanya saja, perasaan senang tersebut perlahan memudar seiring fakta yang Melodi sadari ketika usianya beranjak remaja.
Mama dan Papa tidak pernah bermain musik bersama-sama.
Ketika hari itu tiba lima tahun lalu—sebuah momentum yang menjadi validasi bagi Mama dan Papa untuk tidak akan pernah bermain musik bersama-sama—perasaan senang itu benar-benar menghilang. Melodi sama sekali tidak yakin apakah ia dapat merasakan sesuatu ketika alunan musik tercipta dari kedua tangannya. Melodi juga tidak yakin apakah ia masih mampu merefleksikan perasaan dari musik yang tengah ia mainkan. Karena nyatanya, kubangan rasa sakit itu masih saja memenuhi benak Melodi hingga sekarang.
Sepasang mata yang sedari tadi mengamati dirinya adalah bukti nyata lahirnya kekosongan dalam lantunan harmoni yang Melodi mainkan. Jemari Melodi hanya bergerak mengikuti nada-nada di dalam partitur—benar-benar seperti metronom yang selalu tepat dan akurat. Meski nyanyian lembut soprano mengalun indah dengan rasa, kehampaan itu tetap saja tidak dapat disembunyikan.
"O Mio Babbino Caro ...."
Ms. Jessica—Dosen Vokal yang sedari tadi menilai penampilan mereka—langsung memberikan tanggapan begitu nada terakhir dari tuts piano yang Melodi tekan menggema memenuhi setiap sudut ruang latihan. Sama sekali tidak ada jeda agar gema itu hilang sepenuhnya. Bahkan, gadis yang sedari tadi Melodi iringi masih terlihat menormalkan deru napasnya.
"Technically, it's not that difficult, even many beginners can sing this piece as well. You already know it, don't you, Felicia Laksita?" Ms. Jessica meminta validasi kepada Feli atas pernyataan yang baru saja beliau lontarkan sambil membenarkan letak kacamatanya.