#07 - Paradox

224 60 67
                                    

La Campanella; a piano piece written by Franz Liszt.

Melodi memandang lembaran partitur yang kini sedang ia pegang dengan tatapan lelah seraya berjalan menuju ruang latihan musik yang terletak di lantai tiga. Pertemuannya dengan Prof. Joshua untuk persiapan seleksi kompetisi Kayserburg bisa dibilang lancar-lancar saja. Tidak ada nuansa yang menekan ketika Melodi berdiskusi dengan Prof. Joshua beberapa saat yang lalu di ruang kerja beliau. Prof. Joshua bahkan memberikan beberapa arahan dalam menentukan lagu pilihan yang akan Melodi bawakan nanti.

La Campanella adalah lagu yang akhirnya Melodi pilih untuk tahap seleksi nasional di antara lagu-lagu yang menjadi pilihan. Ada banyak poin tambahan apabila Melodi dapat memainkannya dengan sempurna—tepat dan akurat. Karena fokus utama kompetisi Kayserburg tahun ini adalah untuk mencari virtuoso* piano terbaik, lagu-lagu yang menjadi pilihan untuk dibawakan memiliki teknik permainan yang cukup sulit. La Campanella termasuk salah satu komposisi piano tersulit karena interval nada yang dimiliki cukup luas serta dimainkan dalam tempo allegretto*. Nada-nada pada melodinya merupakan metafora dari suara dentang lonceng dan diadaptasi dari bagian terakhir Violin Concerto No. 2 in B minor milik Niccolo Paganini. Untuk lagu final yang harus Melodi bawakan nanti—jika memang (dan harus) lolos pada tahap seleksi nasional—Melodi akan memainkan lagu Beethoven: "Appassionata" Piano Sonata No. 23 in F Minor, Op. 57 (3rd Movement).

[(1) Virtuoso: orang yang ahli dalam menguasai teknik memainkan alat musik. (2) Allegretto (tanda tempo): dimainkan dengan cepat.]

Berkali-kali Melodi mengembuskan napas pelan. Lima bulan adalah waktu yang Melodi miliki untuk menguasai kedua lagu tersebut. Bukan waktu yang panjang dan Melodi harus mulai berlatih sesegera mungkin agar ia dapat lolos pada seleksi tingkat nasional.

Ketika Melodi membuka salah satu pintu ruang latihan, gadis itu sedikit tersentak begitu mengetahui siapa yang telah menggunakan ruang latihan musik tersebut terlebih dahulu.

"Oh! Hello, my ex-rival! Or should I call you ... my ex-partner?"

Seringai tipis tampak menghiasi salah satu sudut bibir dari seorang gadis yang kini ada di hadapan Melodi. Kedua netra gelap Melodi langsung menunjukkan tatapan awas. Air muka Melodi bahkan berubah menjadi datar, seolah Melodi benar-benar enggan untuk berurusan dengan gadis yang tengah memegang instrumen viola tersebut.

"Sorry. Gue bakal cari ruangan lain."

Melodi hendak pergi dari tempat itu sesegera mungkin setelah berujar dengan intonasi yang teramat sangat dingin. Namun, gadis yang memunculkan sikap defensif pada diri Melodi tersebut malah tertawa lepas hingga membuat langkah Melodi terhenti, seolah apa yang baru saja Melodi utarakan adalah sebuah gurauan ringan yang amat sangat renyah.

"Kenapa harus minta maaf? You know, that's so funny."

Tatapan mata Melodi pun semakin tajam, menghunus tepat pada netra milik gadis itu.

"I'll leave."

Gadis berambut hitam tersebut masih saja tertawa.

"Pakai aja ruangan ini. Gue udah selesai latihan. Lo bisa main piano di sini" Gadis itu semakin menekankan setiap suku kata yang terlontar, "—as long as you want."

Melodi tahu, kalimat yang baru saja diutarakan gadis itu adalah bentuk sarkasme dari jalan hidup yang telah Melodi pilih. Pernyataan gadis tersebut benar adanya dan Melodi tidak dapat mengelak sedikit pun. Bisa jadi, gadis itu merupakan satu-satunya orang yang mengerti hal-hal tersembunyi pada diri Melodi. Benang merah yang terjalin di antara keduanya memang tidaklah sesederhana yang terlihat.

Melodi Dua Dimensi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang