#08 - In the Middle of the Rain

194 58 39
                                    

TW // blood, suicide

Pada cahaya termaram dengan hanya ditemani beberapa lilin kecil, Revan duduk bersandar di lantai sambil menatap sendu sebuah pintu yang tidak berani ia buka bertahun-tahun lamanya. Sebuah pintu yang akan mengantarkan Revan pada memori terkelam yang pernah ia miliki, tetapi juga berparadoks dengan hangat yang akan merambati batinnya ketika Revan mengingat kembali siapa sosok pemilik ruangan di balik pintu itu. Malam ini, dengan diiringi tiga jarum jam yang bergerak pelan untuk saling bersinggungan, Revan bersiap untuk mematikan seluruh lilin-lilin kecil yang tertancap manis pada sebuah kue sebagai perayaan bagi pemilik ruangan tersebut.

"Happy birthday, Mama."

Dalam satu tiupan, seluruh kobaran api kecil itu padam seketika, mengantarkan gelap pada Revan yang kini semakin mengeratkan pelukan pada kedua kakinya. Guntur di luar sana menggema pelan seiring tetesan hujan yang tidak kunjung berhenti sejak beberapa jam yang lalu. Dalam situasi yang tidak pernah Revan sukai, pemuda itu merutuki dirinya sendiri karena tidak pernah mampu untuk benar-benar keluar dari masa yang telah lama berlalu.

Tujuh belas bunga matahari, Revan menghabiskan seluruh atensinya dengan membunuh beragam ketakutan di setiap warna yang tergores pada kanvas. Perlambangan pada sebuah keberanian dan harapan, tetapi nyatanya tidak cukup kuat untuk menahan kepergian satu-satunya sosok terpenting yang Revan miliki. Tujuh belas yang memiliki makna keterbalikan, dan Revan amat sangat benci ketika dirinya harus berada pada bagian tergelap dari apa yang pernah Revan alami seumur hidupnya.

Di bawah guyuran hujan deras, dengan masih berbalut seragam dan tas yang dipenuhi oleh buku-buku, Revan berlari secepat yang ia bisa. Satu pesan berisi simbol bunga matahari menjadi alasan kuat bagi Revan untuk membolos pada jam pelajaran yang masih berlangsung. Harapan untuk mendapatkan perayaan pada hari lahirnya di dunia pun pupus seketika, tergantikan oleh fakta yang harus Revan terima dengan paksa saat itu juga.

Pada usianya yang ke tujuh belas, Mama memilih mengakhiri hidupnya daripada bertahan sebagaimana beragam usaha yang telah mereka upayakan.

Tidak pernah terpikirkan oleh Revan bahwa hari itu benar-benar akan datang. Tidak, bukannya Revan tidak pernah berpikir seperti itu. Setiap hari, ketakutan itu selalu menghantui. Hanya saja, setelah seluruh usaha yang Revan lakukan untuk meyakinkan Mama bahwa masih ada banyak alasan untuk tetap bertahan, pada akhirnya Revan tidak dapat menahan keputusan mutlak sang mama.

"Maafin Mama ...."

Dalam pelukan terakhirnya, di ruangan itu, Revan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Mama pergi meninggalkan dirinya dengan darah yang melingkupi lengan dan juga butir-butir obat yang berserakan di lantai.

Suara guntur di luar sana kian menggelegar dalam derasnya hujan yang entah kapan akan berhenti. Puluhan pesan dan telepon yang masuk dari Satya bahkan sama sekali tidak Revan hiraukan. Pada detik yang terus berjalan, Revan membiarkan dirinya semakin tenggelam dalam beragam memori yang berkelebat meski semua itu membuat dadanya terasa sesak.

Sama seperti kala itu, langit kelabu seolah lebih tahu apa saja yang akan terjadi. Kematian sang mama tentu membuat Revan sedih, tetapi air mata yang ia miliki seolah enggan untuk keluar. Bahkan, ketika Tante Risa dan Satya mengurus seluruh prosesi pemakaman sang mama, Revan masih saja tidak menangis.

Namun, begitu mengetahui hanya sedikit orang yang hadir di hari pemakaman sang mama, Revan seketika menumpahkan seluruh emosinya dalam tangis yang berbalut amarah.

Kenapa hidup selalu tidak adil untuk Mama?

Revan tentu amat sangat paham kenapa Mama sampai memilih jalan seperti itu. Eksistensinya yang tidak dihargai, hingga beragam hinaan yang Mama terima dari orang-orang di sekitarnya, membuat pertahanan Mama sering kali lepas kendali dalam kekalutan yang selalu menyelimuti. Beberapa kali Revan harus menurut ketika Mama mengajaknya untuk berpindah tempat tinggal, walau Revan yang kala itu masih berusia delapan tahun juga sering kali merasa enggan.

Melodi Dua Dimensi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang