Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Lo ada masalah apa sebenernya, Za?"
Alex terheran-heran saat Faza tiba-tiba menghubungi pagi tadi, berkata bahwa ia ingin bertemu di salah satu kafe yang telah menjadi tempat nongkrong favorit mereka sejak SMA. Namun, Alex lebih heran lagi melihat Faza tak kunjung menyampaikan maksud dan tujuannya dalam pertemuan ini.
Menelisik dari raut wajah Faza, tampaknya ada sesuatu yang sangat mengganggu pikiran laki-laki itu, tetapi ia bingung bagaimana cara untuk mengatakannya.
Faza menyesap Americano pesanannya sejenak sebelum menghela napas dalam. "Gue sebenernya lagi bingung, Lex," kata Faza yang pada akhirnya mengeluarkan suara setelah bermenit-menit terlewati. "Tapi, gue ngajak lo ketemuan bukan mau minta saran atau semacamnya. Gue butuh temen ngobrol, dan lo cukup dengerin gue aja pun nggak masalah. Gue takut jadi gila aja kalo gue simpen sendiri."
"Oke...," Alex membalas dengan dahi berkerut samar. "Jadi, ada apaan?"
"Ini soal adek gue."
"Fanny?"
Faza menggeleng. "Fay."
Oh.... Ini cukup di luar dugaan. Alex sama sekali tak mengira bahwa Faza akan menjadikan Fay sebagai topik pembahasan mereka kali ini.
"Fay kenapa?" tanya Alex, berusaha tak terlalu menunjukkan raut penasarannya.
Sembari menyugar rambut ke belakang, Faza menyahut, "Gue ngerasa makin ke sini, gue malah makin jauh sama Fay. Lebih tepatnya sih, Fay yang ngehindar dari gue, bahkan dari Fanny dan nyokap bokap juga. Gue udah pernah bilang, 'kan, kalo dia suka banget diem di kamar?
"Fay itu kayak punya dunianya sendiri, sampe-sampe kadang lupa sama segalanya," imbuh Faza, kemudian ia menyandarkan tubuh ke punggung kursi seraya menarik napas. "Tapi akhir-akhir ini gue baru sadar kalo dia mungkin lebih bahagia sama dunia yang dia ciptain, makanya dia narik diri dari kehidupan nyata yang nggak bisa kasih dia arti dari kebahagiaan itu sendiri."
Alex menyimak dalam diam, berusaha mencerna dengan baik informasi mengenai Fay yang baru saja ia dapatkan secara langsung dari Faza. Rasa ingin tahu Alex pun semakin membengkak. Sebenarnya, kehidupan seperti apa yang Fay jalani selama ini?
Namun, pada detik berikutnya kenyataan segera menyadarkan Alex bahwa tidak seharusnya ia mengetahui segala hal tentang Fay, 'kan? Apa yang sebenarnya ia pikirkan, sih?
"Gue bingung," Faza kembali bersuara sebelum Alex sempat menimpali, "gue harus apa, supaya hubungan gue sama Fay bisa balik kayak dulu lagi?" Setelahnya, Faza tertawa hambar seolah menertawakan kekonyolannya sendiri. "Ah, gue nggak seharusnya nanyain itu ke lo. Mungkin lo bakal lebih bingung, karena lo kan anak tunggal."
Alex terkekeh kikuk. "Jujur, gue juga ikutan bingung. Dan gue nggak nyangka ternyata lo bakal ceritain masalah sama keluarga lo. Biasanya kan, lo curhat tentang gebetan lo mulu."
Faza kontan tergelak. "Itu kan dulu, Lex. Tapi sumpah, masalah ini bikin gue lebih pusing ketimbang soal gebetan."
"Itu karena keluarga lebih penting buat lo, 'kan?"
"Jelas. Apalagi ini soal Fay. Ah, bukannya gue lebih sayang Fay daripada Fanny. Tapi ... Fay itu adek pertama gue, jadi, yah, lo pasti ngerti 'kan, Lex?"
Alex manggut-manggut, kemudian ia menyesap Vanilla Latteyang sudah tak hangat lagi. "Gue ngerti," tukas Alex. "Gue mungkin nggak bisa kasih masukan yang tepat buat masalah lo ini. Tapi, gue rasa lo perlu komunikasi dari hati ke hati aja sama Fay, Za."
"It's easy to say, but hard to do," Faza menyahut dengan satu sudut bibir yang terangkat. "Gue udah sering coba, tapi nggak ada hasilnya. Entah itu karena Fay yang susah diajak ngobrol baik-baik, atau mungkin kata-kata gue yang salah. Mungkin lo harus coba ngobrol langsung sama Fay, biar bisa buktiin jawaban mana yang paling benar."
"Hah?"
Mengobrol dengan Fay, katanya? Sungguh, Alex belum pernah berpikir ke arah sana sebelumnya.
Lagipula, memangnya apa yang harus ia bicarakan dengan adik perempuan Faza--yang keberadaannya bahkan baru ia ketahui sejak dua minggu lalu?