Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Loh, udah mau berangkat, Lex?"
Alex yang tengah memakai sepatu di halaman depan lekas menoleh ke samping dan menemukan ayahnya baru saja keluar dari dalam rumah untuk menghampirinya. "Iya, Yah," jawab Alex kemudian. "Udah mendung soalnya, takut hujan di jalan."
Ayah manggut-manggut mengerti. "Iya ya, mana kafe tempat kamu manggung itu lumayan jauh juga. Kamu yakin nggak mau berhenti aja, Lex? Ayah kan udah sering bilang juga kalo kamu nggak perlu kerja apa-apa lagi sekarang."
Alex pun tertegun sesaat di tempatnya. Ia masih ingat betul kala pertama kali Ayah berkata bahwa dirinya tidak perlu lagi pusing memikirkan bagaimana caranya untuk menghasilkan uang. Dua bulan telah berlalu dan keadaan memang bisa dibilang sudah mulai membaik jika dibandingkan sebelumnya--meski belum sepenuhnya stabil. Namun, Alex tetap bersikukuh untuk tidak langsung menuruti perkataan sang ayah begitu saja.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Alex sangat menikmati saat-saat di mana ia tampil di depan para pengunjung kafe bersama teman-teman satu band-nya. Beberapa kali juga mereka menerima tawaran untuk tampil di acara-acara tertentu. Alex tak lagi menganggap hal itu sebagai pekerjaan. Ia hanya melakukan apa yang disukainya dan menganggap hasil yang diterima sebagai bonus.
"Nggak bisa, Yah," Alex lagi-lagi menolak secara halus. "Lagian nama band aku mulai naik sejak manggung di kafe, sayang kalo berhenti. Dan kalo berhenti pun ya harus sama-sama, nggak bisa aku doang." Kemudian dengan raut dan intonasi penuh canda Alex melanjutkan, "Emang Ayah nggak seneng anak Ayah jadi terkenal sekarang?"
"Udah tampil di acara TV mana emang kamu?" sahut Ayah, lalu tawa ringannya mengudara. Ia pun menepuk-nepuk bahu anak laki-lakinya bangga. "Ayah ikut seneng kalo kamu seneng. Sekarang kamu keliatan lebih santai dan lebih menikmati hidup yang kamu punya, Ayah jadi lega liatnya. Tapi jangan sampe lupa sama kuliah gara-gara keasyikan nge-band ya, Lex."
"Pasti dong, Yah."
"Jangan lupa juga sama Ayah, sama ibu. Oh, sama pacar kamu juga, tuh."
"Hah?"
Senyum geli Ayah terbit melihat Alex yang kebingungan. "Memangnya Ayah nggak tau? Lain kali kalo mau teleponan, pintu kamar kamu ditutup rapat dulu makanya."
Rasa malu pun seketika menyerbu Alex tanpa ampun. Ia dan Fay memang tak pernah membicarakan sesuatu yang akan terdengar menggelikan bagi banyak orang. Tapi tetap saja, mengetahui bahwa ayahnya sendiri tak sengaja mendengar membuat Alex seketika ingin memiliki kekuatan untuk menghapus ingatan seseorang.
"Itu ... bukan pacar, Yah," ujar Alex dengan senyum kikuk seraya mengusap belakang lehernya. "Belum...," lanjut laki-laki itu dengan suara pelan.
"Oh, Belum? Berarti akan, 'kan?" Melihat Alex yang hanya bisa tersenyum dengan kikuk, Ayah pun tertawa sejenak dan melanjutkan, "Nggak apa-apa, nggak usah buru-buru juga. Asal nanti kamu jangan lupa aja bawa ke rumah buat dikenalin. Kan Ayah sama ibu juga pengen tau cewek mana yang bisa suka sama kamu ini."