🕘 chapter twenty one: trust me, okay?

2.7K 366 8
                                    

note: chapter ini akan sedikit lebih panjang karena menyesuaikan dengan kebutuhan cerita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

note: chapter ini akan sedikit lebih panjang karena menyesuaikan dengan kebutuhan cerita. happy reading! ❤️

-

Sejujurnya rasa minder mulai menerpa kala Fay menyaksikan secara langsung keahlian Alex dalam mengolah bahan makanan. Fay bahkan sempat mempertanyakan gender-nya sendiri. Yah, walaupun memang tidak ada aturan tertulis yang menyebutkan bahwa perempuan harus pintar memasak, tapi tetap saja, apa yang akan orang-orang katakan setelah melihat fenomena ini?

Kali ini, setidaknya Fay masih beruntung karena di rumah itu hanya ada dirinya dan Fanny. Adiknya pun tak memberikan banyak komentar akan hal itu. Mungkin ceritanya akan lain lagi jika Faza yang memiliki keahlian sama turut berada di sana.

Ah, omong-omong soal Faza, Fay jadi teringat bahwa mereka belum sempat bicara lebih lanjut soal kesalahpahaman yang terjadi. Bukannya tak mau, hanya saja ... Fay terlalu malu untuk menghapadi Faza setelah ia menyadari bahwa kesalahannya justru jauh lebih besar.

"Fay, kenapa diem aja?" Pertanyaan dari Alex segera membuyarkan lamunan Fay. Dengan raut sedikit cemas, laki-laki menambahkan, "Nasi gorengnya nggak enak, ya?"

Fay lekas menggeleng, ia pun kembali meraih sendok dan garpu. "Enak kok," jawab gadis itu jujur. Alex memang hanya membuat nasi goreng rumahan sesuai dengan bahan-bahan yang ada, tapi Fay tidak bisa bohong kalau rasanya betul-betul di luar dugaan.

Iya, pada akhirnya hanya Alex yang memasak, sementara Fay bertugas untuk menyiapkan bahan-bahan saja. Fay pun sudah terlanjur jujur bahwa ia tidak begitu bersahabat dengan dapur dan Alex sama sekali tak masalah akan hal itu.

"Maaf ya, jadinya cuma nasi goreng doang. Habisnya sayang, abang kamu nggak kira-kira tuh masak nasinya," sahut Alex sembari tertawa ringan. Sesendok nasi goreng kembali masuk ke dalam mulutnya.

Kali ini Fay hanya tergeming. Gerakan kunyahannya semakin melambat. Tangan kanannya kemudian meraih segelas air dan meminumnya sedikit. Alex yang menyaksikan itu sempat mengira Fay takkan menghabiskan makanannya. Oleh karena itu Fay cepat-cepat berkata, "Saya mau nanya sesuatu, boleh?"

Sejemang Alex memandang Fay bingung sekaligus penasaran, kira-kira apa yang akan ditanyakan gadis itu? "Boleh. Mau nanya apa?"

"Saya pengin tau, dulu pas masih sekolah, Bang Faza kayak gimana, Kak?"

"Faza?"

"Iya."

Dari raut wajahnya, Fay dapat berasumsi bahwa Alex tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Namun, laki-laki itu tak berkomentar banyak dan justru segera berpikir, mengingat-imgat kembali momen ketika SMA dulu. Nasi goreng yang masih tersisa setengah pun ia abaikan sejenak.

"Faza, ya," Alex memulai. "Dia tuh salah satu tipe murid yang ngambis di angkatan. Tiap ada tugas, ulangan harian, atau pas waktunya ujian, dia selalu berusaha buat dapat nilai tinggi. Tapi hebatnya, abang kamu tetep luangin waktu buat main sama temen-temennya--termasuk saya. Karena, katanya, dia pengin tetep waras sampe lulus.

"Saya ngerti kenapa Faza kayak gitu, tapi jujur aja, dulu saya nggak tega liat dia," Alex melanjutkan dengan senyum masam yang mulai merekah. "Faza pernah bilang, nilainya harus selalu bagus karena dia udah gagal masuk ke sekolah pilihan orangtuanya. Tapi saya salut, walaupun dapat banyak tekanan, Faza berhasil lewatin itu semua. Dia bahkan jadi salah satu lulusan terbaik dengan nilai tertinggi waktu itu. Abang kamu emang hebat, Fay."

Mendengar penjelasan Alex, Fay langsung dibungkam oleh rasa bersalah yang semakin menjadi. Pasalnya, banyak hal yang baru Fay ketahui mengenai Faza. Fay hanya tahu bahwa Faza selalu mendapat peringkat pertama tiap kenaikan kelas, tetapi Fay tidak tahu ada sebuah alasan yang memaksa Faza agar bisa mencapainya.

Fay kira, hanya dirinya yang menderita karena harus selalu mengikuti pilihan orangtuanya. Namun, nyatanya, Faza sudah lebih dulu merasakan hal itu dan ia sama sekali tak pernah mengeluhkannya  di hadapan mama, papa, bahkan kedua adik perempuannya.

Kini Fay cukup yakin bahwa saat itu, Faza memang tak punya pilihan lain selain menyetujui pilihan orangtua mereka. Bodohnya, Fay justru malah semakin memperkeruh suasana dengan menciptakan permusuhan di antara mereka, karena ia menduga Faza sama sekali tak peduli padanya.

Ah, sial, Fay mengumpat dalam hati seraya mengusap wajah dengan kedua tangannya. Mata gadis itu mulai terasa panas, tapi ia berusaha menahannya mati-matian. Fay tidak mungkin menumpahkan segala emosinya di hadapan Alex saat ini.

Sayangnya, Fay lupa bahwa Alex adalah salah satu manusia terpeka yang pernah ia kenal. Laki-laki itu segera menyadari ada yang tak beres dari Fay setelah menyudahi nostalgia singkat masa SMA-nya.

"Kamu ... kenapa?" Alex bertanya dengan hati-hati.

Fay mengangkat kepala, lantas ia tatap Alex lamat-lamat. Laki-laki itu tampak agak terkejut melihat kedua mata Fay yang memerah dan sedikit berair. "Gimana ... gimana caranya supaya Bang Faza bisa maafin saya, Kak?" Tanpa sadar, kalimat tersebut meluncur dari mulut Fay akibat dari perasaannya yang kacau.

Selama beberapa detik Alex hanya mematung di tempatnya. Hingga kemudian, ia beranjak dan mendekat ke arah kursi Fay. Tangannya bergerak untuk mengambil sebuah sapu tangan dari saku celana, meskipun saat itu Fay sama sekali tidak menangis.

"Kak Alex! Fanny mau nambah nasi gorengnya, dong!"

Suara Fanny menginterupsi mereka. Namun, menyadari atmosfer yang berbeda di sana, Fanny lekas urung mendekat. Fay hanya memandang adiknya tanpa ekspresi, sementara Alex memberi isyarat dengan menaruh telunjuk di depan bibirnya. Tanpa banyak komentar, dengan ragu Fanny kembali ke ruang tengah sambil menyimpan rapat segala pertanyaan dalam benak.

Embusan napas Alex terdengar. Laki-laki itu kembali fokus pada Fay. Sapu tangan pun segera ia ulurkan ke hadapan Fay. "Saya yakin kamu emang kuat, tapi saran saya, lebih baik jangan ditahan biar kamu lega," ujar Alex dengan penuh pengertian. Kini ia setengah berjongkok hingga harus sedikit mendongak untuk menatap Fay.

"Maaf kalo saya terkesan ikut campur. Tapi Faza sendiri sempat cerita ke saya soal masalahnya sama kamu. Dan menurut saya, nggak perlu pake cara apapun. Just talk to him, Fay. Dia sayang sama kamu, saya yakin dia pasti ngerti, dan dia nggak punya alasan buat nggak maafin kamu."

Ragu-ragu Fay menerima sapu tangan berwarna biru gelap itu. Tanpa sadar, Fay meremasnya kuat. Setetes cairan bening sudah meluncur di pipi kanannya, yang berarti, benteng pertahanannya mulai hancur secara perlahan. Dan perkataan Alex adalah penyebab utamanya.

"Trust me, okay?" imbuh Alex dengan senyum yang tampak menenangkan di mata Fay. "Saya tau Faza gimana, tapi kamu pasti lebih tau kalo dia nggak akan setega itu, apalagi sama adiknya sendiri."

Bagaikan sihir, ucapan itu membuat Fay langsung mempercayai Alex, dan ia yakin takkan menyesalinya.

🕘

bandung, 29 september 2021

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang