Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Fay, udah deh, besok lo nggak usah sekolah dulu, nanti gue yang bilangin ke Bu Ida kalo lo sakit."
Saat ini Fay tengah berbincang dengan Rhea yang tadi tiba-tiba menelepon, bertanya perihal kondisinya. Sebab Rhea adalah salah satu teman Fay yang tahu persis bagaimana keadaannya saat di sekolah tadi. Sebenarnya Rhea sudah menyuruh Fay untuk pulang lebih cepat, tetapi Fay bersikeras ingin tetap mengikuti pelajaran sampai tuntas.
Dan, yah, alhasil kondisinya semakin tak menunjukkan tanda-tanda akan membaik dalam waktu singkat. Tapi Fay berusaha untuk tidak menunjukkan dirinua yang lemah.
"Nggak bisa, Rhe, besok ada ulangan geo," sahut Fay dengan suara serak akibat tenggorokannya yang terasa kering. "Lo tahu sendiri Pak Ilham nggak pernah mau kasih ulangan susulan."
"Ya ... tapi, masa lo mau maksain ke sekolah? Nanti kalo lo pingsan gimana?"
"Ya elo tinggal gotong gue ke UKS, beres."
"Anjir, lo pikir badan gue yang kurus kering begini mampu, apa?"
Fay kontan terkekeh. "Udah, lo tenang aja. Besok juga pasti gue udah baikan, jadi nggak akan nyusahin lo."
Rhea menghela napas. "Hah, batu banget sih lo," gerutu gadis itu. "Ya udah, pokoknya lo istirahat aja sekarang. Saran gue sih lo nggak usah ngerjain commis dulu deh hari ini. Bisa-bisa lo makin ngedrop ntar."
"Pelanggan gue pada kabur ntar kalo pesenan mereka nggak gue kerjain, Rhe."
"Astaga, masih aja lo mikirin mereka. Emangnya mereka mikirin kesehatan lo? Nggak kan? Biarin ajalah kalo pada kabur, nggak akan bikin lo langsung jatuh miskin juga, 'kan?"
Kedua mata Fay pun berputar. "Iya, semerdeka lo aja, Rhe." Gadis itu memberi jeda. "Ya udah kalo gitu, gue tutup teleponnya, ya, mau tidur. Bye, Rhe."
"Iya udah tidur sana. Inget ya, nggak usah--"
"Iya, astaga. Udah ya, gue tutup."
"Eh, bentar--" Dan Fay pun memutus sambungan, mengabaikan Rhea yang masih ingin berkata sesuatu padanya. Tapi Fay sudah tak sanggup. Kepalanya makin terasa berat, dan ia rasa ia memang butuh tidur sekarang.
Fay menyimpan ponsel yang layarnya sudah padam ke atas nakas. Ia sudah bersiap berbaring di atas tempat tidur dan menarik selimut. Namun, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. Dalam hati Fay langsung menebak-nebak. Apakah itu Fanny, atau mungkin ... Alex?
"Kak Fay? Bisa keluar sebentar, nggak?"
Oh, tentu saja itu Fanny. Alex yang notabenenya hanyalah guru privat Fanny tidak mungkin sampai mendatangi kamarnya seperti itu.
Tanpa menyahut, Fay pun terpaksa beranjak lagi dari kasur. Rasa pusing langsung mendera tatkala gadis itu berhasil berdiri tegak, tetapi ia harus mengabaikannya sejenak. Dengan perlahan, Fay melangkah menuju pintu dan langsung mendorong gagangnya ke bawah.
Figur mungil Fanny langsung terlihat setelah pintu terbuka setengah. Fay pun berjalan keluar dan lekas menutup pintu kembali.
"Kenapa, Fanny?" tanya Fay kemudian.
Fanny mendongak, menatap Fay yang lebih tinggi darinya dengan sorot khawatir bercampur takut. "Ini ... Fanny mau kasih roti sama obat, Kak," ujar Fanny sembari menyerahkan plastik putih pada Fay. "Di dalamnya juga ada air mineral. Jangan lupa dimakan rotinya, terus minum obatnya ya, Kak? Biar Kak Fay cepat sembuh."
Fay tertegun sejenak. Ia pun menerima plastik itu dalam diam. Kemudian matanya mengarah pada Fanny yang kini tertunduk. Mulanya Fay tak mengerti, tapi kemudian ia tersadar bahwa Fanny yang berdiri di depan kamarnya pasti teringat kembali akan suatu hal yang pernah terjadi beberapa tahun silam.
Embusan napas panjang pun Fay loloskan. "Makasih ya, Fanny," tukas Fay dengan tulus. "Omong-omong, ini kamu yang beli?"
Fanny mengangkat kepala. Ia mengerjap, kemudian menggeleng. "Bukan, Kak. Kak Alex yang beliin semuanya," jawab Fanny. "Em, kalo gitu Fanny ke bawah lagi ya, Kak. Fanny mau les."
Tanpa menunggu respons dari Fay, Fanny sudah beranjak menjauhinya, dan sosoknya pun menghilang setelah turun tangga. Kemudian Fay masuk kembali ke dalam kamar dengan perkataan Fanny sebelumnya yang terus berputar di kepala.
Ponsel Fay yang berada di atas nakas tiba-tiba menyala. Fay langsung mendekat, dan ia menemukan satu notifikasi dari aplikasi perpesanan, dengan nama Alex sebagai si pengirim pesan.
Alexander Feridian Fay, itu saya beliin roti sama obat Jangan lupa dimakan ya, jangan lupa juga minum obatnya Selamat istirahat, semoga cepat sembuh
Bersamaan dengan alunan suara biola yang mulai terdengar secara samar, Fay bertanya-tanya dalam hati.
Apakah Alex memang orang yang sebaik itu sampai-sampai memedulikan dirinya --yang bukan siapa-siapa?