🕘 chapter thirty two: one of the great barrier between us.

2.3K 320 7
                                    

"Loh, kamu belum pulang jam segini?" tanya Alex pada Fay yang menjadi lawan bicaranya saat ini melalui telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Loh, kamu belum pulang jam segini?" tanya Alex pada Fay yang menjadi lawan bicaranya saat ini melalui telepon. Kebetulan laki-laki itu baru tiba di kediaman Faza dan Fay meneleponnya, bertanya apakah ia jadi datang hari ini atau tidak.

"Iya, soalnya tadi habis kerja kelompok," Fay memberi jawaban sekenanya.

"Mau saya jemput, nggak?"

"Ah, nggak usah, Kak. Ini saya udah di bus, bentar lagi juga nyampe."

"Oh, ya udah kalo gitu." Ada jeda sejenak kala Alex menarik kedua sudut bibirnya rendah, meskipun ia tahu Fay tidak bisa melihatnya. "See you later, Fay."

Dua detik berlalu, balasan dari Fay pun datang, "See you later, Kak."

Senyum Alex semakin melebar. Ia menunggu beberapa saat sampai Fay memutuskan sambungan. Mungkin ini akan terdengar cringe seolah Alex adalah seorang remaja laki-laki yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta, tetapi sesaat setelah mendengar suara Fay tadi, Alex menjadi semakin tak sabar untuk bertemu gadis itu secara langsung setelah dua minggu lamanya. Rasanya, mendengar suaranya saja tidak cukup.

Alex mengembuskan napas panjang kemudian menggeleng-geleng, merasa geli dengan dirinya sendiri. Untuk saat ini ia harus fokus sejenak pada tujuannya datang ke rumah Faza selain bertemu Fay.

Sebelum masuk ke pekarangan rumah itu dan memarkirkan motornya, Alex terlebih dahulu mengirimkan chat untuk mengabari kedatangannya pada Faza sebagai bentuk sopan santunnya saat bertamu, meskipun sesungguhnya Faza tidak terlalu peduli akan hal itu karena Alex bukanlah orang asing. Laki-laki itu kemudian turun dari motor dan melepas helm, lantas menggantungnya di kaca spion.

Sesaat langkah Alex terhenti karena kedua matanya menangkap sosok Faza yang muncul dari balik pintu utama. Dahi Alex segera berkerut samar. Tumben sekali Faza menyambut kedatangannya sambil membukakan pintu?

"Oy, masuk-masuk, Lex," sapa Faza sekaligus mempersilakan Alex untuk masuk. Setelah Alex mengangguk dan mendekat, Faza menambahkan, "Mumpung masih ada waktu sebentar dan Fanny masih sibuk ngerjain peer di kamarnya, gue mau ngomong dulu sama lo."

Langkah Alex melambat, raut bingung semakin tampak jelas di wajahnya. Entah kenapa ia merasa apa yang akan Faza bicarakan bukanlah sesuatu yang baik. Tapi siapa yang tahu? Masih ada kemungkinan kalau asumsinya salah. Maka dari itu, Alex pun memutuskan untuk tak ragu-ragu saat memberi balasan, "86, Za. Kebetulan ada yang mau gue omongin juga sama lo."

"Oh ya? Ya udah ayo, gue malah jadi penasaran nih sama apa yang mau lo omongin," tukas Faza sambil terkekeh kecil, kemudian ia pun kembali ke dalam rumahnya sementara Alex masih melepas sepatu dan kaus kaki di teras.

Alex pun lekas masuk dan menempati sofa di ruang tamu sambil melepas hard case biola dari punggungnya. "Fanny udah tau 'kan, kalo gue datang hari ini?" tanya Alex dengan maksud berbasa-basi guna menghindari situasi yang tak diinginkan, mengingat ada hal yang perlu mereka bicarakan.

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang