🕘 chapter eleven: thank you, she said.

3.4K 459 5
                                    

Hujan mengguyur cukup deras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan mengguyur cukup deras.

Bermenit-menit telah terlewati sejak pertama kali Fay berdiri di samping Alex, namun tak ada yang berinisiatif untuk memulai konversasi guna mengusir hening di antara keduanya. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak ada topik yang terlintas dalam benak untuk dijadikan bahan obrolan.

Ayo, Lex, biasanya lo kan paling pinter basa-basi, Alex membatin. Kedua matanya kemudian melirik ke arah Fay. Seragam putih abu-abu yang melekat di tubuh perempuan itu tak terselamatkan sepenuhnya, begitu pula dengan sepatu serta jaket yang ia pegang. Bahkan rambut panjangnya yang diikat satu pun bernasib sama.

Mendapati keadaan Fay yang seperti itu segera mendorong Alex untuk melontarkan sebuah pertanyaan--yang sesungguhnya sudah harus ia lakukan sejak tadi.

"Bukannya dua hari lalu kamu sakit? Kenapa sekarang malah hujan-hujanan?" Pada akhirnya, Alex memulai percakapan mereka di sana.

Fay menoleh. Perbedaan tinggi yang tidak begitu jauh membuat ia hanya perlu mendongak seperlunya. "Saya udah sembuh kemarin," jawab Fay sekenanya.

"Kalau udah sembuh, apa artinya boleh hujan-hujanan?"

"Nggak juga. Cuma kebetulan aja hujan turun duluan sebelum saya sampe ke jalan raya."

Alex terdiam sejenak. Respons dari Fay menbuatnya tertarik untuk bertanya lebih lanjut. "Emangnya tadi kamu dari mana?"

"Sekolah," balas Fay tanpa perlu pikir panjang. "Kebetulan sekolah saya bukan di pinggir jalan raya, tapi masuk ke jalan di sebelah minimarket ini. Jadi saya perlu jalan dulu tiap pergi atau pulang sekolah."

"Wah, sama kayak sekolah saya dulu kalo gitu," Alex menyahut dengan antusias. "Kamu pasti tau kan sekolah abang kamu? Letaknya juga bukan di pinggir jalan raya. Jadi murid-murid sana yang nggak bawa kendaraan pribadi harus siapin energi ekstra kalo telat."

Alex terkekeh pelan, lalu menengok pada Fay. Niatnya memang untuk mencairkan suasana dan ia ingin melihat bagaimana reaksi perempuan di sebelahnya. Sayangnya, wajah Fay tak menunjukkan ekspresi yang berarti, membuat senyuman kecut segera menghentikan kekehan laki-laki itu.

Ngapain, sih, gue? Alex lekas membuang muka sambil menghela napas dalam.

"Kakak juga termasuk?"

Kedua alis Alex kontan terangkat. Laki-laki itu kembali menoleh, dan ia langsung mendapati pandangannya bertubrukan dengan sepasang iris madu milik Fay serta senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Alex tak bisa memungkiri bahwa ia sempat mematung karenanya.

"Iya, pernah...," sahut Alex sembari menarik kedua sudut bibirnya kikuk. "Tapi pas kelas sepuluh aja, karena waktu itu saya ke sekolah masih pake bus." Laki-laki itu memberi jeda. "Kalo kamu?"

"Hm, saya malah udah sering ngalamin selama hampir tiga tahun ini."

"Oh? Emangnya kamu nggak bawa kendaraan pribadi? Atau dianterin Faza?"

Fay menggeleng pelan. "Saya nggak bisa naik motor atau mobil. Kalo Bang Faza, tiap pagi dia juga harus nganterin Fanny sekolah. Sekolahnya lebih jauh, nggak searah sama sekolah saya juga. Jadinya saya ngalah aja daripada ribet."

"Oh, I see," tukas Alex kemudian. Setelahnya ia terdiam sejenak, sedikit tak menyangka bahwa kini ia dapat mengetahui sesuatu tentang Fay langsung dari yang bersangkutan.

Sebelum melanjutkan percakapan, Alex kembali menghadap ke depan dan baru menyadari bahwa derasnya hujan telah berganti menjadi gerimis kecil. Orang-orang yang juga berteduh di sana sudah mulai berkurang, memilih untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda.

"Kak, hujannya udah reda. Saya pulang duluan, ya?"

Suara Fay lekas menarik atensi Alex. "Naik apa?" tanya laki-laki itu.

"Saya biasa naik bus."

Otak Alex langsung berpikir dengan cepat. Mengingat kondisi Fay yang baru saja kehujanan setelah sembuh dari sakit, tentu saja Alex jadi tidak tega jika harus membiarkannya pulang sendirian. Tetapi, mau mengantar pulang pun tak bisa karena Alex tidak membawa helm dua.

"Makasih, Kak."

Alex mengerjap, tak mengerti karena terlalu tiba-tiba. "Ya?"

Fay kembali menampakkan lengkungan tipis di wajahnya. "Untuk dua hari lalu. Saya lupa belum balas chat Kakak, jadi saya bilang langsung aja mumpung ketemu."

Mendengar itu membuat senyum Alex secara otomatis terbentuk sedikit lebih lebar dari yang biasa ia tunjukkan pada Fay.

"Sama-sama, Fay."

🕘

bandung, 27 agustus 2021

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang