🕘 chapter sixteen: you can go with me, if you want....

3.3K 432 6
                                    

Fay terduduk di kursi kayu panjang yang terletak di taman kecil pekarangan rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fay terduduk di kursi kayu panjang yang terletak di taman kecil pekarangan rumahnya. Beberapa tanaman tampak tak terurus karena sang mama yang biasa merawatnya belum juga kembali dari tugasnya. Sayang sekali, tak satu pun dari ketiga anaknya yang memiliki kecintaan yang sama terhadap salah satu makhluk hidup itu.

Embusan napas panjang Fay loloskan. Gadis yang rambutnya dibiarkan terurai itu merapatkan kardigan berbahan tipis yang ia kenakan. Memang tidak begitu ampuh untuk menghalau dinginnya angin malam, tetapi Fay terlalu malas untuk mengenakan jaket karena ia masih berada di rumah sendiri.

Sejujurnya, perkataan Rhea telah mengusik Fay sejak pertama kali terlontar dengan mulusnya dari mulut temannya itu. Dan kini, Fay malah semakin tak tahu apa yang harus dilakukan ketika ia kembali berhadapan langsung dengan Faza. Seingat Fay, sedari dulu memang tidak bisa semudah itu untuk menyelesaikan masalah antara dirinya dengan Faza.

Dan Fay menyadari bahwa sifat yang ia miliki lah yang telah mempersulit semuanya.

Sekali lagi, Fay meloloskan napasnya. Kepalanya menengadah, menatap langit malam yang tidak ditemani oleh bintang dan bulan. Hanya awan tebal yang tertangkap oleh mata. Akhir-akhir ini cuaca memang sedang tidak bersahabat. Tapi Fay cukup yakin kalau malam ini takkan turun hujan.

"Anginnya dingin. Kamu nggak takut masuk angin?"

Suara itu serta merta membuat Fay segera menoleh ke samping kanan, tepat di mana sumber suara itu berasal. Awalnya Fay mengira ia adalah Faza. Namun, Fay sempat lupa bahwa ada seorang laki-laki lain yang tengah berada di rumahnya saat ini.

Fay melihat Alex mendekat ke arahnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Kaus putih polos, jaket jeans hitam, serta celana berbahan dan berwarna sama membungkus tubuhnya, tak lupa dengan sepatu converse tinggi sebagai pelengkapnya. Untuk seorang mahasiswa yang merangkap sebagai guru privat, gaya berpakaiannya memang sederhana, tapi tetap terlihat modis.

Melihat hard case biola di punggung Alex, sejenak Fay menyalakan layar ponsel untuk memastikan waktu. Sudah pukul sembilan rupanya. Dan jadwal kursus Fanny pasti sudah berakhir, sehingga Alex bisa berada di sini sekarang. Apakah Alex ingin menagih hutang padanya?

"Kamu ngapain di sini?" Alex kembali melemparkan pertanyaan karena Fay tak kunjung mengeluarkan suara. "Tadi Faza sempat nyariin kamu, loh."

Fay menoleh pada Alex yang berdiri menjulang di sebelahnya, sehingga ia harus sedikit mendongak. "Lagi duduk aja, sambil cari angin. Bosen di kamar juga."

Alex manggut-manggut. "Oh, saya agak nggak nyangka kamu bakal ngerasa bosen. Soalnya, Faza bilang, kamu paling suka diem di kamar." Kemudian, tanpa meminta izin terlebih dahulu, Alex menempati ruang kosong yang masih luas di sebelah Fay. "Saya boleh nanya sesuatu, Fay?"

Tanpa mengeluarkan suara, Fay memberi tatapan seolah bertanya, "Mau tanya apa?"

"Maaf sebelumnya, tapi ... waktu itu, Fanny sempat nyinggung soal kamar kamu yang katanya dipenuhi sama lukisan. Saya jadi penasaran. Kamu suka melukis?"

Oke, lupakan soal hutang. Fay yakin Faza pasti sudah membayarnya tadi.

Sungguh, pertanyaan yang tidak terduga. Fay sama sekali tidak merasa terganggu, hanya saja, ia jarang sekali menemukan orang yang bertanya mengenai hal itu sebelumnya. Dan, kenapa juga Fanny tiba-tiba menyinggungnya di hadapan Alex?

Fay membuang muka dan sedikit menunduk. "Iya, saya suka," jawab gadis itu sekenanya. "Kamar itu udah kayak studio lukis bagi saya. Jadi, itu kenapa saya betah diem di kamar, kayak apa yang Bang Faza bilang."

"Oh, I see. Ternyata, diam-diam, tanpa banyak orang yang tau, kamu sibuk berkarya di sana," sahut Alex dengan senyum simpul. "Kamu tau? Di kampus saya, saya sering lihat gimana orang-orang dari jurusan seni rupa bertebaran di tiap sisi kampus untuk ngegambar, berkarya. Di manapun, pasti selalu ada aja karya yang tercipta. Bahkan, tembok kosong yang ada di kampus aja bisa disulap sama mereka jadi jauh lebih menarik. Buat saya itu keren banget."

Masih mempertahankan senyum yang disertai oleh sorot teduh, Alex melanjutkan, "Begitu pula kamu, Fay. Walaupun saya belum lihat langsung proses atau hasilnya, tapi saya yakin kamu pasti nggak kalah kerennya."

Sontak Fay tertegun mendengarnya. Bagaimana bisa Alex memujinya seperti itu walaupun ia belum melihat bagaimana hasil karyanya? Tapi, sungguh, Fay tidak bisa menyembunyikan binar di matanya yang sudah sekian lama meredup. Bahkan, mendengar cerita Alex membuat sebuah keinginan yang nyaris terlupakan tiba-tiba kembali mencuat ke permukaan.

"Fay," panggil Alex yang berhasil menarik kembali kesadaran Fay. "Saya baru ingat. Kebetulan, di kampus saya lagi ada pameran lukisan yang baru dibuka dua hari lalu. Barangkali kamu tertarik buat datang? Ah, tapi saya bukannya nyuruh, apalagi maksa. Semuanya tergantung kamu."

Pameran? Fay mengulang dalam hati. Tanpa perlu ditanya, tentu saja Fay akan dengan senang hati untuk datang! Tapi masalahnya.... "Saya pernah denger kampus Kakak dari Bang Faza, tapi saya nggak tau lokasinya di mana. Setau saya, cukup jauh dari sini, 'kan?"

Dan jawaban Alex pun segera mendarat setelah beberapa detik ia gunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang ragu.

"Kamu bisa pergi sama saya, kalo kamu mau...."

🕘

bandung, 18 september 2021

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang