Fay mengalami culture shock ringan ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di kampus Alex.
Memang sebelumnya Fay sudah sering mendengar desas-desus tentang bagaimana mahasiswa yang berkuliah di kampus seni. Tapi setelah menyaksikannya secara langsung, Fay tetap saja terkejut. Lalu jika membandingkan Alex dengan mahasiswa lain yang sempat yang dilihatnya, Fay cukup yakin bahwa Alex adalah salah satu mahasiswa yang teguh pendirian dan tidak tergoda untuk mengikuti budaya di lingkungan barunya.
Lihat saja bagaimana para laki-laki di sana dengan bangganya memelihara rambut gondrong--yang jujur saja membuat Fay bertanya-tanya, perawatan macam apa yang dilakukan hingga rambut mereka bisa tampak lebih indah dibanding miliknya? Tapi, tentu saja tidak semuanya seperti itu. Fay hanya tidak mau membahasnya karena ia merasa mual sendiri meski hanya melihatnya.
Selain rambut, gaya berpakaian pun menjadi poin selanjutnya yang tampak mencolok dari mereka. Entah itu laki-laki atau perempuan, Fay temukan keunikan tersendiri yang ia yakini telah menjadi ciri khas diri mereka masing-masing. Dan menurut apa yang Alex katakan, beberapa dosen di sana bahkan sama sekali tidak mempermasalahkan setelan apa yang dikenakan oleh para mahasiswa dalam perkuliahan.
Sungguh, Fay merasakan aura kebebasan yang luar biasa di kampus ini.
"Gimana menurut kamu pameran ini?"
Alex baru saja kembali dari gedung jurusannya. Laki-laki itu sempat meninggalkan Fay di salah satu galeri fakultas seni rupa dan desain yang merupakan tempat pameran diadakan, karena ia harus mengumpulkan tugas. Kebetulan, Alex tidak ada kelas sehingga ia bisa menemani Fay hari ini.
"Keren," sahut Fay dengan senyum tipis di wajah. "Ada beberapa yang bikin saya nggak nyangka kalo itu hasil karya mahasiswa."
Alex lekas mengangguk setuju. "Betul. Saya sering banget datang tiap kali mereka ngadain pameran. Karya-karya mereka emang pantas buat dapat apresiasi sebanyak-banyaknya." Pandangan laki-laki itu kemudian tertuju pada satu lukisan yang berada tepat di hadapan mereka. "Fay, coba deh, saya pengen tau interpretasi kamu terhadap lukisan ini."
Fay turut memandang lurus-lurus lukisan yang memang sedang dilihatnya. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis yang tengah memegang payung, menaungi dirinya. Namun, jika biasanya seseorang menggunakan payung untuk melindunginya dari hujan, apa yang ada dalam lukisan itu bukanlah demikian.
Payung itulah yang menghadirkan hujan, bukannya langit.
Selama beberapa saat Fay terdiam dan memikirkan apa maksud dari lukisan itu. Tak butuh waktu lama, dan Fay pun kembali bersuara. "Apa yang kita kira bisa melindungi, tidak selamanya bisa melindungi," ujar Fay dengan lugas.
Alex tertegun sejenak, lalu ia bertanya, "Maksudnya?"
Kini, Fay menatap lawan bicaranya. "Payung harusnya bisa melindungi seseorang dari hujan, tapi di sini payung malah memberikan hujan. Payungnya nggak rusak dan kelihatan sempurna. Jadi, mungkin orang-orang yang kita kira akan selalu melindungi, belum tentu bisa selamanya melindungi. Bisa aja dia memberi kesedihan atau luka? Nggak ada yang tau. Karena yang kita lihat dia sempurna, nggak ada celah, jadi kita nggak akan nyangka dia bisa berbuat begitu."
Tatapan takjub segera Fay dapatkan dari Alex, tak menyangka bahwa bagi Fay, lukisan tersebut memiliki arti sedalam itu. "Saya setuju," aku laki-laki itu. "Entah lukisan ini berdasarkan dari pengalaman pribadi artist-nya, atau apa yang dia lihat dari sekitarnya. Tapi dia mau mengingatkan kalau nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sesempurna apapun mereka di mata kita. Begitu 'kan, Fay?"
Fay mengangguk. "Iya," sahutnya, "tapi belum tentu maksudnya begitu. Tiap orang pasti punya pandangannya sendiri."
"Yah, anggap ajalah emang begitu, saya udah terlanjur suka sama pemikiran kamu," tukas Alex sembari tertawa kecil. "Kayaknya nggak salah saya udah nawarin kamu ke sini. Kamu nggak nyesel, 'kan?"
Mana mungkin gue nyesel, batin Fay. Jujur saja, mengunjungi pameran bersama seseorang yang bisa menjadi teman bicara seperti ini adalah pengalaman baru baginya. "Saya nggak pernah nyesel datang ke pameran," jawab Fay dengan sungguh-sungguh. Kemudian, kedua sudut bibir Fay tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkungan indah yang jarang ia perlihatkan pada siapapun. "Makasih, Kak."
Untuk sejenak Alex tampak terpana di tempatnya. Senyum Fay pun menular dengan cepat.
"Sama-sama, Fay."
🕘
bandung, 22 september 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Me at Nine P.M. [END]
RomanceMulanya, Alex mendatangi rumah Faza--teman SMA-nya--murni hanya untuk mengajar privat adik bungsu laki-laki itu. Namun, semuanya tak sama lagi sejak Alex mengetahui bahwa sosok gadis bernama Fay ternyata eksis di dunia ini. --- © July 2021 by Dinda...