🕘 chapter thirty seven: is it too late now to say that?

2.3K 304 14
                                    

Sepuluh menit sebelum jarum jam menunjukkan pukul sembilan tepat, Fay keluar dari kamarnya dan lekas menuju lantai bawah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepuluh menit sebelum jarum jam menunjukkan pukul sembilan tepat, Fay keluar dari kamarnya dan lekas menuju lantai bawah. Sejenak Fay terdiam memerhatikan Alex yang duduk membelakanginya di ruang tengah sementara kedua tangannya sibuk memegang dan menggesek biola hingga menghasilkan alunan melodi yang sangat indah untuk didengar.

"Itu susah, Kak. Fanny nggak akan bisa kalo belajar sendiri," Fanny merespons setelah Alex menyelesaikan permainannya dengan wajah cemberut, dan Fay mengerti betul kenapa Fanny seperti itu. "Kakak beneran harus banget berhenti ngajar Fanny, ya? Fanny kan nggak pernah males-malesan latihannya, Kak."

Embusan napas panjang Fay loloskan. Tampaknya Fanny benar-benar tidak rela jika Alex tidak menjadi guru lesnya lagi.

"Aku juga sebenernya nggak mau berhenti, Fanny, tapi mau gimana lagi?" Alex membalas dengan penuh pengertian seperti biasanya. "Aku juga udah bilang 'kan, kalo semisal kamu belum dapat guru pengganti, kamu masih boleh minta aku ke sini buat ngajarin kamu. Kalo lagi nggak ada kegiatan apa-apa, aku pasti bakal datang, kok."

Aku pasti bakal datang, kok.

Kalimat itu secara otomatis terulang-ulang dalam kepala Fay. Apa maksud Alex sebenarnya? Apa mungkin ... ia tidak benar-benar pergi seperti yang Fay kira?

"Kak Alex nggak bohong, 'kan?"

"Nggak, Fanny. Ngapain aku bohong?"

Setelahnya Fay tidak lagi mendengar percakapan mereka karena ia memutuskan untuk langsung menuju halaman belakang rumahnya. Entah Alex ataupun Fanny menyadari keberadaannya, Fay tidak peduli. Jika memang iya, setidaknya Alex tahu di mana ia bisa menemui Fay.

Fay segera menempati gazebo mini yang terletak persis di sebelah kolam ikan yang sengaja dibuat oleh sang papa. Dari sana, Fay juga dapat melihat benda bulat yang bersinar terang meski tampak kecil dari kejauhan. Bulan di atas sana tidak sendirian, ada banyak bintang yang selalu setia menemaninya. Awan hitam rupanya tengah berbaik hati karena tak menghalanginya, sehingga langit malam ini benar-benar terlihat indah.

Sambil mendongak memandangi benda-benda langit tersebut, Fay jadi sedikit berharap jika malam ini benar-benar akan ada hal baik yang terjadi. Fay tidak pernah berekspetasi apapun semenjak hidupnya berjalan tak sesuai kehendaknya, tapi bolehkah kali ini saja ia menginginkan semesta untuk berada di pihaknya?

"Fayra."

Fay seketika mematung untuk sesaat. Suara itu ... sudah jelas hanya milik Alex seorang. Dan, untuk pertama kalinya Alex memanggil nama depannya secara lengkap. Fay tak bisa menyangkal bahwa hal kecil seperti itu akan memiliki efek samping yang lebih besar dalam dirinya, sama halnya seperti kalimat-kalimat yang terdengar manis dan sangat jujur yang pernah Alex lontarkan padanya.

Kini Fay menggerakkan kepalanya untuk memandang Alex yang sudah memasuki halaman belakang. Laki-laki itu kemudian mengambil beberapa langkah hingga akhirnya ia berdiri persis di hadapan Fay yang terduduk dengan kaki menggantung di gazebo.

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang