🕘 chapter thirty eight: important parts of my life.

2.2K 280 11
                                    

"Fay, saya boleh tanya sesuatu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Fay, saya boleh tanya sesuatu?"

Sang empunya nama segera menoleh pada Alex yang terduduk di sebelahnya. Pembicaraan mereka sebelum ini ternyata belum usai hanya sampai pada pernyataan rasa suka Alex terhadap Fay. Masih ada beberapa hal yang Alex rasa masih berlu dibahas oleh mereka berdua. Dan juga ... malam ini adalah malam terakhir Alex bisa bertemu Fay sesuai dengan jadwal kursus Fanny, 'kan?

Entah semesta akan mengizinkan mereka untuk bertemu lagi dalam waktu dekat setelah hari ini, entah mereka akan jadi semakin sering bertemu, atau mungkin bisa saja yang sebaliknya. Alex sama sekali tidak tahu hal itu. Oleh karenanya, untuk malam ini saja, Alex ingin menikmati momen di mana Fay berada di dalamnya dengan sedikit lebih lama.

"Tanya apa, Kak?" balas Fay kemudian. Kedua tangannya memegang secangkir susu cokelat hangat yang baru saja dibuatnya.

"Kamu ... kenapa nggak marah sama saya? Maksudnya, saya bukannya pengen kamu marah, tapi liat gimana reaksi kamu waktu itu dan gimana cara ngomong kamu waktu saya telepon tadi, saya pikir kamu nggak akan maafin saya semudah ini," jelas Alex dengan raut penasaran yang bermain-main di wajahnya.

Fay kontan tersenyum masam. "Saya juga bingung, seharusnya saya emang marah, tapi saya nggak bisa. Saya bahkan lagi-lagi perang dingin sama Bang Faza, tapi sama Kakak, saya malah nggak bisa. Saya jadi takut, jangan-jangan Kakak bisa ngehipnotis saya."

Hipnotis katanya? Oh, yang benar saja! Alex pun langsung tertawa kecil karenanya. "Setelah saya bilang kalo saya bukan orang sebaik itu, kamu langsung berani nuduh saya macem-macem, ya?"

"Konotasinya nggak yang macem-macem, kok? Nggak semua orang pake cara hipnotis buat ngelakuin kejahatan, 'kan?"

"Hm, jadi kalo saya beneran hipnotis kamu supaya kamu maafin saya, itu bukan kejahatan?"

"Kalo dalam kasus ini kayaknya Kakak termasuk pengecualian." Fay terkekeh pelan seraya menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga. Setelahnya, ia menatap Alex lamat-lamat. "Tapi serius, Kak. Saya nggak bisa marah emang karena Kakak sendiri. Karena kalimat-kalimat yang Kakak ucapin, karena cara Kakak menyampaikannya, karena Kakak udah jujur, dan juga ... karena saya sendiri sadar kalo saya nggak tau apapun tentang Kakak."

Alex tertegun sejenak di tempatnya. "Terus, apa ada yang pengen kamu tau tentang saya?"

"Ada banyak," jawab Fay tanpa pikir panjang. "Tapi untuk hari ini, saya cuma pengen tau apa yang memang perlu saya ketahui aja."

"Hmm," gumam Alex, berpikir sejenak untuk menimbang-nimbang apa yang harus ia jelaskan pada Fay. Dan seperti apa yang dikatakan gadis itu, hari ini memang sebaiknya Alex memberitahu apa alasan di balik kesalahpahaman di antara mereka. "Mungkin secara kasarnya, saya cuma bisa bilang kalo semuanya karena uang."

Senyum pahit Alex terbit sebelum melanjutkan, "Sebenarnya saya mulai ngajar les musik sejak lulus SMA, ngisi waktu luang sebelum masuk luliah. Awalnya saya ngelakuin itu karena emang saya suka, dan murid saya saat itu pun kebanyakan dari keluarga saya sendiri." Laki-laki itu memberi jeda sejenak. "Tanpa ngajar musik, sebenarnya hidup saya udah sangat tercukupi. Tapi semenjak ayah saya mengalami masalah dalam bisnisnya, semuanya udah nggak sama lagi.

Meet Me at Nine P.M. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang