Nyctophobia

185 31 24
                                    


~~***~~

Harusnya ketika malam tiba, ketika bulan sudah bertahta, pemilik rumah bergaya klasik modern itu sudah berada di rumah. Tapi, ini sudah nyaris menyentuh waktu tengah malam, dan pemilik rumah masih belum kembali pula, hanya ada anak pemilik rumah dan Vega di sana.

Jika saja sang pemilik rumah tidak menghubungi Vega melalui sambungan telepon rumah, mungkin saat ini Vega akan kebingungan, pasalnya Vega nyaris belum tahu apapun yang harus ia lakukan di rumah besar dengan dua lantai itu.

Sepi, itulah yang Vega rasakaan saat ini. Gadis itu terlihat sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan segelas air minum dan obat yang harus ia berikan pada pria dingin yang ia tak kenal namun merasa seperti tak asing baginya.

Rumah besar pun mewah itu memiliki penyinaran yang cukup bagus, hawanya sejuk segar meski pendingin ruangan mungkin tak dinyalakan. Pepohonan rindang yang ada hampir di sekeliling rumah berperan banyak untuk menyegarkan udara. Gemericik air dari air terjun buatan yang ada di sudut rumah menjadi teman dalam kesunyian yang Vega rasakan. Gadis itu terlihat sesekali memperhatikan sekeliling ruang dapur ketika merasa ketakutan.

Nyaris saja Vega berteriak kala melihat seseorang melintasi ruangan antara dapur dan ruang tengah, Vega tak melihatnya dengan begitu jelas, hanya seperti melihat sekelebat bayangan dari ekor matanya. Gadis itu beruntung ketika ia menyadari yang baru saja melintas adalah pria dingin itu, pria dingin yang terlihat seperti membawa sebuah buku di tangan kekarnya.

***

Malam itu, cuaca sangat buruk, seperti sedang bermusuhan pada ketenangan manusia. Petir berkilat-kilat di langit malam, cahayanya bahkan terlihat seperti ledakan kembang api pada malam pergantian tahun, gemuruhnya menggulung-gulung, kuat memekakkan telinga. Hujan deras menerpa bumi, disertai tiupan angin yang cukup kencang membawa udara dingin, dan ranting-ranting kering mungin sudah patah dan berjatuhan.

Pada sebagian besar orang akan menganggap menangis ketika berada di ruangan gelap adalah hal yang berlebihan dan lucu. Namun, ada segelintir orang-orang justru pada kondisi sebaliknya, tak terkecuali Vega. Vega memiliki sebuah ketakutan besar pada kegelapan. Gadis bintang itu salah seorang dengan kondisi demikian, ketakutan pada kegelapan. Sebagian besar orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang mungkin pernah memiliki trauma, dan Vega pernah memiliki kisah kelam yang masih terus meninggalkan trauma pada dirinya, bahkan ketika ia sudah dewasa. Andai saja Vega bisa, ia ingin dirinya tak pernah mengalami itu, ia ingin menjadi wanita yang tak pernah takut pada apapun.

***

Kosmos, sebuah buku astronomi yang di tulis oleh astronom bernama Carl Sagan menemani kebosanan dan kesepian Nebula. Pria bermata galaksi itu terlihat tengah membalik beberepa lembar halaman, wajahnya tampak serius ketika membaca.

Kata demi kata, lembar demi lembar Nebula membacanya dengan penuh teliti, ia nyaris lupa beberapa hal yang sudah pernah ia pelajari sebelumnya, itu sebab ia begitu ingin kembali mempelajari beberapa hal yang nyaris hilang dalam ingatannya.

Jeritan seseorang berhasil menginterupsi Nebula bersamaan dengan padamnya listrik dan gemuruh petir yang menggelegar. Nebula cukup terkejut akan hal itu. Pria tinggi dan tampan itu buru-buru menghentikan aktivitasnya dan menggapai ponselnya yang berada di atas nakas kecil, kemudian berlari menuju sumber suara teriakan.

"Hei, kau baik-baik saja?" Nebula membuka paksa pintu di hadapannya. Ia masih berdiri di dekat sana dengan ponsel di tangan yang flashlightnya menyala.

Takut, gemetar, histeris, Vega terlihat bersembunyi dan meringkuk di balik selimut. Tangisannya cukup kencang, bahunya tampak naik turun, napasnya tersengal sesak tanpa berani membuka mata. Tak ada hal yang lebih menakutkan lagi selain kegelapan dan gemuruh petir ditambah hujan badai malam hari bagi seorang Vega.

Sekelebat ingatan buruk sedang berputar-putar di kepala gadis cantik itu. Bayangan tubuh gadis kecil yang mungkin berusia 8 tahun yang menahan sakit di tengah hujan dan tanpa penerangan itu tampak nyata seperti sebuah scene dalam film, guyuran hujan membuat darah yang mengalir dari kening anak perempuan itu membuat wajahnya dipenuhi merah yang berbau amis tajam seperti bau besi yang berkarat. Ingatan itu membuat kepala Vega terasa pening berat.

Vega bahkan sampai tak bisa berkata-kata meski ia sudah mendengar suara seseorang yang mungkin sedang mengkhawatirkan dirinya, ia masih terpejam dan terisak kuat di balik selimut. Setakut itu memang.

Entah dorongan dari mana? Mungkin ini hanya rasa kemanusiaan yang dimiliki sang lelaki bermata galaksi untuk menarik tubuh ketakutan itu masuk dalam pelukannya. Niatnya sekedar untuk menenangkan.

Vega mungkin tidak sempat untuk merasa canggung karena memang ia benar-benar ketakutan. Gadis itu benar-benar memeluk dengan erat tubuh dengan bidang lebar di hadapannya, menenggelamkan kepalanya tepat di bidanya dada seorang Nebula. Masih kesulitan untuk bernapas.

Tangan kekar dengan vein dan bisep itu melingkari tubuh kecil dalam dekapnya, satu tangan lagi mencoba mengusap pelan surai coklat begelombang milik Vega, sampai pada bahu yang masih naik turun karena mengisak. "Kau kenapa?" bohong jika Nebula tidak khawatir.

"Aku takut gelap," gadis bintang di rasi Lyra itu masih terpejam takut.

"Nyctophobia?"

Vega hanya menggangguk pelan. Jika Vega mungkin merasa tak canggung berada dalam pelukan Nebula, berbanding balik dengan Nebula yang justru merasa ada gelenyar aneh di tubuhnya, ia merasa seperti memeluk sosok Rigel yang dirindukannya. "Coba buka matamu perlahan, ada bantuan penerangan dari ponsel, tidak begitu gelap," Nebula coba memberi instruksi untuk Vega agar gadis itu perlahan tenang.

Perlahan namun pasti, ketika Nebula mencoba mengusap airmata di wajahnya, Vega membuka matanya. Hal pertama yang Vega lihat adalah sosok Nebula dengan wajah dinginnya namun begitu teduh.

Vega mencoba untuk lebih tenang meski dirinya masih ketakutan, mengurai jarak antara ia dan Nebula, "maaf, a--aku, ini karena aku benar-benar takut," Vega menjauhkan tubuhnya, sedikit malu ketika menyadari betapa kacaunya ia saat ini. Gadis itu menunduk merasa bersalah.

"Aku tahu," Nebula memahami segala kondisi yang dialami Vega. Memiliki ketakutan itu adalah hal yang wajar. Yang tak wajar itu adalah ketika orang tak memiliki rasa takut pada apapun. "Tenangkan dirimu dulu! Kau butuh minum?" Melihat betapa sesaknya Vega membuat Nebula sadar mungkin saja gadis itu butuh beberapa teguk air untuk membantu menetralkan sesak dan ketakutannya.
Maka, tanpa menunggu jawaban Nebula mengajak Vega untuk berdiri dari atas kasur, membawanya ke dapur.

Gadis itu duduk pada kursi meja makan, matanya terus mengikuti dan mengekori kemanapun Nebula bergerak, mungkin saja ia takut jika tiba-tiba Nebula meninggalkannya, karena penerangan minim dari ponsel itu hanya ada di tangan Nebula.

"Minumlah!" Nebula menyodorkan segelas air putih kepada Vega. Vega menerimanya dengan rasa tak enak hati karena membuat Nebula khawarir sekaligus repot karenanya.

"Terima kasih," Vega meletakkan gelas air minumnya yang tandas ke atas meja makan. Gadis itu sesekali masih sesenggukan.

"Kau masih takut? Bisa tidur sendirian?" tanya Nebula kemudian ketika ia melihat Vega yang perlahan tenang.

Love
AEERA LIMZ

MOON [SUDAH CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang