~~***~~
Suaranya tak begitu kuat. Tapi, bisa terdengar hingga ke kamar sebelah. Nada demi nada dimainkan oleh Nebula, menjadi sebuah musik yang begitu indah, merdu suara alat musik itu sopan masuk ke indra pendengaran. Satu fakta lagi yang Vega dapatkan tentang Nebula. Pria itu pandai memainkan alat musik melodis seperti piano.
Vega tahu lagu apa yang sedang pria itu mainkan sekarang. Lagu kesukaannya. Lagu yang indah, sehingga tanpa sadar Vega ikut bernyani pelan, suaranya tak kalah indah.
Gadis itu bertepuk tangan pelan ketika Nebula menyelesaikan lagu yang ia mainkan. "Musik yang indah," puji Vega. Gadis itu datang membawakan sarapan juga beberapa obat yang harus rutin diminum oleh Nebula tiap harinya. Memang itulah yang harus Vega kerjakan.
Vega merasa dirinya seperti sedang bicara pada benda mati, karena Nebula sedikitpun tak merespon. Ya, orang yang memiliki penyakit mental emang tak bisa mengendalikan emosinya dengan benar.
"Habiskan sarapannya, dan jangan lupakan untuk meminum obatnya!"
"Aku sudah tahu." Nebula memutar bola matanya malas.
"Emm, ma-maf sebelumnya, aku ingin meminta izin padamu. Apa boleh nanti sore aku pergi ke gedung seni?"
"Kenapa harus meminta izin padaku?" tanya Nebula yang merasa aneh.
"Karena aku di sini bekerja. Aku memang harus meminta izin pada tuan rumah, bukankah memang begitu aturannya?"
"Kalau padaku kau bebas untuk melakukan apapun, kecuali ikut campur pada urusanku." Rasanya Vega ingin menggeleng-geleng melihat bagaimana pria yang duduk di sebuah kursi dekat piano itu. Perubahan sikapnya memang sangat cepat sekali.
"Kau tak perlu khawatir, aku akan menyiapkan keperluanmu sebelum berangkat. Tapi, sepertinya aku akan pulang sedikit lama. Apa tak masalah?"
"Memangnya ada keperluan apa kau datang ke gedung seni?" Sepertinya Nebula mulai penasaran.
"Aku ingin melihat pameran lukisan. Kebetulan pelukisnya adalah kenalanku. Apa kau ingin pergi bersama?"
"Siapa nama pelukisnya? Kebetulan ayahku adalah penyuka seni lukis."
"Seirios. Namanya Seirios."
Nebula tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. Bukankah ia pernah mendengar nama itu? Ah, mungkin memang pernah mendengar dari ayahnya yang memang salah satu kolektor lukisan.
Setelah sempat menimbang-nimbang tawaran dari Vega untuk pergi bersama, mungkin memang itu bukanlah sebuah ide buruk. Nebula juga bisa sekalian membeli beberapa lukisan untuk ia hadiahkan pada ayahnya, kebetulan sekali hari lahir ayahnya sudah dekat.
"Apa boleh?"
Vega sempat tertawa kecil. "Tentu saja boleh. Bahkan aku tidak perlu merasa was-was karena meninggalkanmu sendirian. Sudah cukup kejadian kemarin pagi membuatku hampir kehilangan pekerjaan karena tak becus mengurusimu." Vega jujur sekali, semua kata-katanya itu meluncur begitu saja dari lisan, lancar seperti laju kereta listrik tanpa hambatan.
Vega memaki diri sendiri dalam hati, "Bodohnya kau Min Vega. Harusnya kau lebih berhati-hati dalan berbicara." Gadis itu menyadari perubahan pada raut wajah Nebula. "Maaf, aku bukan bermaksud mengejekmu tentang hal itu. Aku...." Vega menggantungkan kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON [SUDAH CETAK]
RomanceDia galaksi, lebih luas, lebih besar dari sebuah bulan. Ia terobsesi ingin menjadi seperti bulan yang mampu menerangi bumi dikala gelap malam hari. Tapi, apabila buminya tiada, apa rembulan itu akan tetap bersinar?