~~***~~
Lama Lyra mematung di depan gerbang, memandang ke arah tempat dimana ia memiliki banyak cerita di tempat itu. Rumah lamanya. Lyra tak sepenuhnya percaya dengan apa yang kakaknya katakan, semua harus ia cari tahu sendiri kebenarannya."Bahkan semuanya masih terlihat seperti dulu," Lyra menggumam. Matanya tampak mulai berembun mengingat segala kenangan-kenangan indah yang telah ia lewati di tempat itu. Sebagian ingatan baiknya berputar seperti film dalam kepalanya.
Andai gadis itu menemukan sebuah pintu yang menjadi portal untuknya menjelajah waktu, Lyra hanya ingin ia bisa kembali pada masa kecilnya, ingin bisa bertemu kedua orang tuanya, ia merindukan kasih sayang ayah dan ibu yang sudah tak pernah bisa ia rasakan lagi.
Dengan mengumpulkan segala keberanian, membulatkan tekad untuk melangkah semakin dekat pada pintu rumah bewarna coklat kayu, yang di pinggir bingkai pintunya dipenuhi dengan mawar rambat bewarna putih yang sedang bermekaran. Lyra sempat menghirup wangi tanaman itu, aromanya selalu sama.
Menarik napas dalam untuk kemudian diembuskan secara perlahan, Lyra mulai mengangkat tangan kanannya yang sudah dikepal, mengetuk daun pintu secara perlahan berkali-kali. Lyra sangat berharap akan ada orang tuanya yang akan membukan pintu, seperti ia yang pulang sehabis bermain.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Lyra?" entah sejak kapan Seirios membuntuti Lyra, pria itu bahkan rela meninggalkan beberapa pekerjaannya yang begitu penting demi mengikuti kemana Lyra pergi.
"Lepaskan!" Lyra dengan kasar menyentak tangannya yang digenggam oleh Seirios, hingga tangan pria itu terlepas.
"Sudah aku katakan padamu, rumah ini sudah aku jual, Lyra. Kau tak ada hak untuk datang kemari lagi," ucap Seirios dengan mata yang berkilat-kilat penuh amarah. Terkadang Lyra memang keras kepala.
Lyra tak pernah bisa melihat amarah kakaknya, ia akan langsung lemas ketika Seirios memarahinya. Hatinya terlalu lembut, membuatnya gampang sekali untuk menagis.
Gadis itu terduduk lemas dengan air mata yang sudah tak bisa lagi untuk ia sembunyikan di pelupuk mata, terlalu banyak hingga tumpah. Membanjiri pipinya.
"Apa salah jika aku datang kemari untuk sekedar melepaskan kerinduanku? Apa salah?" lirih Lyra di tengah isakannya yang tak begitu kuat.
"Aku sudah mengatakan padamu jika rumah ini sudah bukan milik keluarga kita lagi, ini sudah menjadi milik orang lain, aku takut kau justru semakin sedih jika kau datang ketempat ini, itu sebabnya aku menjual rumah ini," jelas Seirios.
Mengabaikan ucapan kakak laki-lakinya itu, Lyra mencoba untuk berdiri, meski kakinya masih terasa lemas, ia berusaha pergi meninggalkan Seirios. Pergi tanpa arah tujuan.
"Lyra, Tunggu!" teriak Seirios yang berusaha mengejar.
Lyra sempat berbalik, tatapannya sendu. "Jangan kejar aku, aku akan kembali ke rumahmu, nanti setelah aku menenangkan diriku," ucap Lyra sebelum akhirnya ia benar-benar pergi. Seirios diam, memang mungkin Lyra butuh waktu untuk sendiri, Seirios selalu percaya pada adiknya itu, hingga Seirios tidak perlu begitu khawatir.
Sudah dipastikan Lyra telah jauh, tak tampak lagi eksistensinya di mata Seirios. Pria tampan berlesung pipi itu memandangi rumah mereka yang dulu, pria itu merogoh kantung celananya, mengeluarkan sebuah anak kunci dengan warna kuning tembaga dari dalam sana.
Seirios pergi dari tempat ia berdiri.
***
Langkah kaki keduanya terlihat saling beriringan, menapak pada jalan setapak yang terbuat dari batuan alam, menyusuri deretan tanaman bunga yang ditanam oleh Ellena.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON [SUDAH CETAK]
RomanceDia galaksi, lebih luas, lebih besar dari sebuah bulan. Ia terobsesi ingin menjadi seperti bulan yang mampu menerangi bumi dikala gelap malam hari. Tapi, apabila buminya tiada, apa rembulan itu akan tetap bersinar?