The Fact

66 12 30
                                    

~~***~~


Lyra tak henti-hentinya mengganggu Seirios, sejak bertemu Nebula di pameran lukis kakaknya semalam, Lyra terus-menerus menghantui Seirios kapanpun dan di manapun. Tak pedulikan tempat. Bahkan gadis itu sampai ikut ke galeri seni milik Seirios. Mengacaukan fokus kakaknya yang sedang sibuk dengan beberapa dokumen jual-beli lukisan di galerinya.

"Kakak, apa sulitnya hanya memberikan nomor ponsel Kak Vega padaku?" Lyra mencoba merebut ponsel yang ada di atas meja kerja Seirios, karena kakaknya sudah tak mempan lagi dengan bujuk rayuan Lyra yang super maut itu. Lagipula, memberikan nomor ponsel orang ke orang lain tanpa izin itu sangat tidak baik, seperti kita yang tak bisa menjaga privasi milik orang lain. Seirios bukan orang yang seperti itu tentunya.

"Kembalikan, Lyra!" peringat Seirios. Tapi, tidak begitu serius.

"Tidak. Aku tidak akan mengembalikannya."

"Terserah kau saja." Pada akhirnya Seirios mengabaikan Lyra, membiarkan Lyra membawa kabur ponselnya, kemanapun gadis itu ingin membawanya. Percuma untuk melarang, karena Lyra adalah perempuan yang sangat keras kepala. Tak bisa untuk dilarang.

Menyadari Lyra sudah tak lagi berada di ruangan kerjanya, Seirios tak bisa untuk menahan tawanya lagi, pria itu akhirnya teryawa dengan cukup keras, sampai kursi yang ia duduki bergoyang-goyang.

"Lakukanlah sesukamu, Lyra." Seirios menggeleng-geleng sendiri, tawanya masih tetap pecah.

"Satu, dua, tiga, em..." Seirios berhintung, dan pintu ruang kerjanya kembali di buka bahkan belum genap ia berhitung sampai lima. Di ambang pintu, Lyra berdiri sambil berkacak pinggang, pipinya yang memang sudah tembam sejak dulu ia gembungkan, membuat pipi dengan semburat merah alami itu terlihat seperti bakpau yang baru di angkat dari kukusan. Empuk sekali.

Sementara itu, Seirios sengaja menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda Lyra. "Kenapa kembali lagi?" tanya Seirios yang sedang menahan tawanya yang sempat terhenti.

Beruntung Seirios bisa dengan sigap menangkap ponsel miliknya, atau benda pipih dengan logo buah itu sudah hancur lebur menjadi kepingan tak beraturan karena menghantam dinding di belakang kursi yang ia duduki.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membanting ponselku? Untung aku bisa menangkapnya," proters Seirios.

"Dasar pria pelit," maki Lyra pada kakaknya.

"Harusnya aku membanting ponsel sialan itu ke lantai saja, agar kau tak bisa menangkapnya. Biar rusak sekalian. Tak ada gunanya," teriak Lyra. Mungkin teriakannya mengagetkan beberapa karyawan yang bekerja di galeri milik Seirios

Untuk ke sekian kalinya Seirios tertawa lagi. "Kalau ini rusak memangnya kau mau mengganti kerugiannku? Ini sangat mahal, Lyra." Seiros mengusap-usap ponselnya, seolah-olah itu adalah benda paling berharga dalam hidupnya.

"Jangan menjadi seperti orang miskin, Tuan Seirios!" Lyra sengaja menyebut nama kakaknya dengan menekankan suara. Tandanya ia kesal.

"Ingat, Lyra. Tidak boleh menyian-nyiakan barang yang kita miliki." Kalau sudah begitu, Seirios pasti akan menceramahi adiknya. Lyra sendiri sudah paham betul karakter kakaknya yang hobi berceramah tapi buan berceramah di atas mimbar.

"Ya. Aku paham." Lyra memutar bola matanya malas. "Jangan ceramah lagi, ya? Kupingku ini hanya tetelan yang menempel di kepala. Tak ada gunanya, aku tidak akan mendengarkan ceramahan yang sudah basi itu. Percuma saja," celoteh Lyra sembari menutup telinga dengan kedua tangannya yang kecil. Menggelengkan kepala.

"Tapi, apa alasanmu mengembalikan ponselku?" goda Seirios, padahal ia sebenarnya tahu kalau Lyra tidak bisa membukanya. Jadi, hanya Seirios yang mampu membuka dan mengaksesnya. Seirios sengaja menggunakan kunci berupa pola.

MOON [SUDAH CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang