38. Pemakaman.

217K 26.3K 715
                                    

" jika mengingat kejadian itu, rasa brengsek ku akan selalu timbul."
- Gionatan -

                           ⚔️⚔️⚔️

Di depan teras rumah istana itu terdapat bendera kuning sebagai pertanda berdukacita atau berkabung. Orang-orang berpakaian serba hitam semakin banyak berdatangan ditemani mobil masing-masing, rata-rata dari mereka adalah para kalangan atas yang ikut menghadiri pemakaman.

Dan di dalam rumah tersebut, semua sanak saudara sudah berkumpul. Suara isakan tangis bergantian terdengar, suasana haru sungguh memenuhi ruangan tersebut. Berbagai acara sebelum pemakaman telah selesai dan kini hanya menunggu keberangkatan menuju pemakaman pribadi keluarga Angkasa.

Gio hanya duduk di samping peti ibunya dengan terdiam mulai dari semalam semenjak kedatangan mereka. Ia tidak menangis dan tidak menunjukkan raut sedih sama sekali, ia hanya diam dan berbicara singkat saja jika ada hal perlu. Pandangannya hanya tertuju pada sebuah foto wanita paruh baya yang tersenyum lembut khas keibuan. Jika ada permintaan yang bisa dikabulkan, jauh di lubuk hati Gio bahwa ia ingin memeluk wanita itu erat dan mengumamkan kata maaf berkali-kali.

Di samping pemuda tampan itu juga terdapat sang istri yang setia mengelus bahu suaminya berkali-kali. Ia tau apa yang dipikiran Gio, ia tau bahwa lelaki itu lah yang paling terpukul diantara semua orang yang ada di sana. Ia tau bahwa topeng milik suaminya sangatlah tebal sehingga orang-orang tidak tau wajah aslinya.

Karina dan joselyn juga berada di sana, mereka tidak membuat kerusuhan sebab tau keadaan sekitar. Jujur, mereka juga ikut berdukacita mendengar kabar tersebut walau hanya sedikit saja dan selanjutnya berpura-pura menampilkan raut sedih berlebihan.

Dan Feby, kalian masih ingat Feby? Ia mulai dari tadi terus memperhatikan sepasang suami-istri itu. Menatap bergantian dari wajah Rai yang notabene istri sah lelaki incarannya. Walau rasa tidak terima muncul, tapi ia akan mulai belajar untuk melupakan lelaki itu, apalagi keadaan perut Rai yang sudah membesar semakin mematahkan semangatnya.

Juga tak lupa dengan Pipit serta kelima friend forever surender Gio, mereka semua hadir di sana untuk menyalurkan semangat dan ketegaran bagi ketua geng nya itu. Syukur juga bahwa mereka semua tau diri dengan tidak memakan makanan yang terus tersaji di sana, mengingat setiap ada pesta, maka mereka adalah master eat nomor satu untuk menuntaskan semua makanan. Tapi kini mereka menatap sendu peti jenazah juga Gio, bahkan tadi mata mereka sempat berkaca-kaca ketika mendengar tangisan histeris keluarga Mauren.

Begitu juga dengan keluarga Rai, yaitu Arifin, Lusiana, Chia ( kakak Rai ), dan si bungus Leon, Mereka ikut datang berdukacita kepada keluarga menantu putrinya.

Bukan hanya itu, guru-guru SMA Angkasa juga teman-teman sekelas Gio bahkan menyempatkan diri untuk datang.

Aryo datang untuk mendekati putranya dan menepuk pundaknya pelan.
" Gio, sudah saatnya."

Seakan tertarik ke dunia nyata, Gio bernafas sedikit sesak. Ia berdiri diikuti yang lain lantaran sudah akan mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir.

Gio, Aryo, serta beberapa kelurga dan orang lain bersiap mengangkat peti jenazah yang sudah ditutup rapat itu.

Air mata Rai kembali terjatuh, jika boleh jujur, ia memang tidak kuat lagi menyaksikan acara ini, kepalanya semakin pusing saja. Tubuhnya tiba-tiba di rangkul dari belakang yang tak lain adalah ayahnya. Rai balas memeluk Arifin erat, ia lebih suka sifat kasar Gio daripada sikap mati rasa seperti ini.

Lusiana mendekat kemudian mengelus rambut putrinya pelan.
" Kamu kuat sayang? Kalo pusing bilang aja. Semua orang udah ngerti kok kalo kamu lagi berbadan dua."

Rai menggeleng masih dalam pelukan ayahnya. " Nggak mah, Rai sanggup kok."

Peti mewah tersebut mulai terangkat, perlahan mereka keluar dari sana menuju teras yang sudah tersedia mobil-mobil untuk mengantarkan jenazah.

Peti jenazah itu sudah dimasukkan kedalam mobil ambulance, terlihat Gio langsung duduk di atas kursi yang sudah tersedia di dalam mobil tersebut. Itu berarti Gio akan berada di dalam ambulance.

Rai langsung menahan Aryo yang hendak ikut masuk kedalam mobil ambulance.
" Daddy, aku aja yang nemenin Gio ya?" Pintanya memohon.

Aryo mengangguk seraya mengelus rambut menantunya lembut.
" Iya."

Dibantu oleh Arifin, akhirnya Rai bisa naik kedalam mobil ambulance itu walau sedikit kesusahan. Ia duduk di samping Gio dan kemudian pintunya ditutup.

Yang lain ikut masuk kedalam mobil masing-masing agar segera berangkat. Perlahan, mobil-mobil yang ada di sana mulai melaju meninggalkan kediaman Angkasa.

Dua mobil terlebih dahulu berada di depan, kemudian dilanjut dengan mobil ambulance dan mobil-mobil lain di belakang. Keadaan jalan raya menjadi semakin ramai, namun beberapa pengendara segera menyamping ketika mendengar sirine ambulance mendekat.

Di dalam mobil ambulance, Gio merangkul istrinya untuk bersandar padanya. " Gak capek?"

Rai menggeleng, ia balas bertanya.
" Kakak gak capek juga?"

" Minum dulu." Gio menyodorkan botol Aqua yang diberikan Revion tadi kepada Rai.

Perempuan itu tentu menerima sebab ia menahan dahaga sehingga menghabiskan setengah lebih minuman itu. Setelah selesai, ia menyodorkan kepada Gio.
" Kakak gak minum?"

Gio hanya menggelengkan kepala kemudian memejamkan mata, terlihat jelas jika lelaki tersebut tidak tidur seharian. Semalaman ia hanya berdiam menemani dan menatap wajah pucat ibunya sebelum akhirnya peti tersebut tertutup rapat.

Sekitaran bermenit-menit mereka semua menempuh perjalanan hingga akhirnya sampai di tempat pemakaman umum keluarga Angkasa.

Gio turun terlebih dahulu kemudian membantu istrinya turun. Setelah itu, ia, Aryo dan beberapa orang ikut menurunkan peti jenazah. Kembali peti tersebut terangkat kedalam pemakaman sudah tersedia. Rai membawa foto milik Mauren seraya mengikuti dari arah belakang.

Mereka sampai pada satu makam sudah di persiapkan. Peti tersebut diturunkan lalu dimasukkan kedalam lubang yang sudah digali itu membuat suara tangisan semakin membuncah. Apalagi ketika peti itu sudah mulai dijatuhi tanah secara perlahan-lahan hingga akhirnya tidak nampak lagi dan menciptakan gundukan tanah.

Rai meletakkan foto yang ia pegang pada batu nisan lalu mengelusnya lembut. Ia kemudian menerima keranjang berisi bunga tabur untuk makam, ia mendekatkan pada Gio.

Terlebih dahulu mereka semua memanjatkan doa kepada arwah agar bisa tenang lalu beralih menaburkan bunga.

Ketika Bunga-bunga itu mulai berjatuhan di atas makam, rasa sakit luar biasa menghantam dada Gio. Ia ingin segera bangun dari mimpi buruk ini, ia ingin kembali mendapat informasi dari para bodyguard tentang keadaan ibunya. Namun, itu semua hanyalah ketidakmungkinan.

Perlahan, tangan Gio mengusap batu nisan tersebut. Ia menampilkan senyum samar bahkan nyaris tidak terlihat. Senyum yang memiliki arti agar ibunya tau bahwa ia sudah sangat tidak kuat berdiri menghadap ombak yang akan menerjang.

Terlihat Rai semakin tak kuat melihat keadaan suaminya, ia bahkan bergetar ketika menaburkan kelopak bunga itu. Tapi ia berusaha setegar mungkin agar tidak menimbulkan raut kesakitan. Mulai dari tadi pagi ia bahkan hanya makan satu bungkus roti saja dan selanjutnya tetap berdiam di samping suaminya.

Tangan Rai terulur untuk menggenggam tangan kekar suaminya, ia mengelus seakan-akan menyalurkan kekuatan walau kenyataan ia sendiri sedang butuh tenaga.

Gio masih menatap lekat bingkai foto ibunya, ia seperti mengatakan dari hati ke hati atau seperti curhat kepada ibunya. Dia cukup sangat kuat dengan tidak menampilkan mata berkaca-kaca atau Isak tangis, tapi nyatanya ia lah yang paling rapuh.

                            ⚔️⚔️⚔️

Author juga rada sedih ngetiknya.☹️

Ucapin semangat buat Gio dong.

Btw, author baikkan bisa up lagi?

Ig: Yohanaichi

Gionatan ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang