Detik konstan jam dinding di ruangan menemani Arnesh menghabiskan waktu bersama sang adik yang masih terpejam. Ia genggam jemari Samudra sembari mengalunkan do'a tiada henti di dalam hati. Sesekali ia ciumi punggung telapak tangan pucat milik Samudra. Kedua matanya masih sembab, karena air mata nya masih suka jatuh tanpa permisi. Arnesh sendiri masih menyandang status sebagai pasien. Punggung tangan kirinya pun masih tertancap jarum infus. Tapi ia memohon pada Ayah dan dokter untuk mengijinkannya menjenguk sang adik.
"Tapi gimana? Gimana kalau 'besok' yang lo maksud itu dateng, justru gue yang udah hilang?"
Lagi dan lagi, sederat kalimat itu muncul tanpa ijin di ingatan Arnesh. Seakan menaburi garam pada luka menganga di dalam sana. Membuat lelaki itu memiliki harapan klise yang tak akan mungkin terwujud. 'Seandainya waktu bisa di ulang'.
Dulu dia sendiri yang membangun dinding begitu tinggi. Tak membiarkan adiknya mendekat meski sejengkal. Sekuat tenaga menjauh dari jangkauan Samudra hingga rela pergi ke negeri orang. Lalu, begitu ia kembali, dia sendiri juga yang dengan sengaja menghancurkan dinding itu sedikit demi sedikit. Dengan membiarkan Samudra berada di dekatnya.
Arnesh ingat saat ia sendiri dengan lantang meminta Samudra tinggal bersamanya. Kala itu kata hatinya seakan menyuruh untuk membawa Samudra jauh dari Ayah. Semua berawal dari rasa kesalnya pada sikap bodoh Samudra yang terus mengalah pada sang Ayah. Tapi tinggal bersama dengannya ternyata tidak membuat hidup Samudra menjadi lebih baik. Luka fisik memang tidak lagi Samudra terima, tapi Arnesh sadar bahwa ia terus memberi sang adik luka batin yang tak kalah menyakitkan.
"Kak, nanti pas kelulusan SMA lo dateng ya, ke acara kelulusan gue."
"Waktu kelulusan SMP kemarin gue sendirian. Ayah sama bunda nggak dateng karena sibuk kerja katanya."
Setetes air mata Arnesh jatuh kala kalimat permohonan Samudra yang anak itu ucapkan dulu kembali hadir dalam ingatan. Samudra hanya ingin usahanya di hargai. Tapi butuh waktu lama bagi Arnesh dan bahkan kedua orang tuanya untuk memahami itu.
"Kalo lo mau gue dateng ke kelulusan lo. Ya lo harus bangun dulu, Dra. Ujian dulu yang bener. Baru lo bisa ikut acara kelulusan dan gue bisa dateng." Ucap lelaki itu lirih. Sebuah do'a yang tersirat lewat sederet kalimat perintah.
***
"Gue udah liat rekaman CCTV pas penyerangan itu."
Arnesh seketika meletakkan sendok yang sudah berisi makanan itu dan lantas menoleh pada Rafa yang sedang duduk di sebelah ranjang pesakitannya.
"Terus?" Tanya Arnesh. Menuntut Rafa untuk melanjutkan pernyatannya.
"Awalnya gue nggak tau itu siapa. Tapi anehnya wajahnya familiar di mata gue. Setelah gue inget-inget, dia kakak dari salah satu murid gue. Namanya Badai, anak yang dulu pernah bermasalah sama Mudra. Pelaku itu kakaknya, dulu dia pernah sekali dateng memenuhi panggilan wali. Dulu banget. Badai emang dari dulu anaknya bermasalah, sering bikin ribut sana sini. Setelah itu, nggak pernah ada lagi orang tua atau wali nya Badai yang dateng ke sekolah setiap kali ada panggilan."
Arnesh mendengarkan dengan seksama. Kening lelaki itu berkerut karena menaruh fokus penuh pada penjelasan Rafa. Detik berganti menit, Arnesh dan Rafa tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Raf!" Arnesh sedikit menyentak. Kedua bola matanya melebar saat ia mengingat sesuatu.
"Gue inget samar-samar emang si pelaku itu sempet nyebut nama Badai. Dia bilang adeknya bego karena nyia-nyiain target balas dendam di depan mata. Gue udah bilang belom sih kalo pelaku itu anaknya tersangka yang bunuh Raline tiga tahun lalu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
Narrativa generaleKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...