36 ✍️

3.1K 279 27
                                    

"Bisa nggak? Kalau nggak bisa sini gue suapin." Rafa menawarkan diri setelah tidak telaten melihat Samudra memainkan sendok buburnya sedari tadi.

"Harus dimakan itu, Dra." Titah Rafa, lagi.

Samudra yang sudah mulai jengah karena selalu gagal menyendok bubur itu mencebik. "Gue bukannya nggak mau makan, Raf. Ni sendok sombong banget nggak mau gue pegang." Ujarnya kesal sembari terus mencoba menyendok bubur dengan benar.

"Adegan di film-film tuh ternyata banyak bohongnya ya. Yang adegan udah di tusuk pisau, di tembak. Tapi masih bisa guling-guling, salto, manjat. Apaan dah, ni gue pegang sendok aja gemeter." Lanjutnya.

Antara kasihan tapi ingin tertawa juga, Rafa gemas melihat Samudra kesusahan melakukan kegiatan sederhana itu. "Tapi kayaknya nggak sepenuhnya bohong juga. Buktinya lo udah bisa ngoceh kayak beo kelaperan." Ledek lelaki itu.

"Emang burung beo kalo laper ngoceh?" Tanya Samudra dengan polosnya.

Sadar ledekannya tidak tepat sasaran, Rafa hanya bisa tepok jidat. "Serah lu, dah."

Samudra tidak ambil pusing dengan umpatan Rafa. Kedua matanya meliar hingga ia kembali menyadari bahwa sang kakak juga berada di ruangan itu sejak tadi setelah melihat sosok itu berdiri tak jauh dari pintu masuk.

"Kak, lo nggak pegel berdiri di situ terus. Sini masih ada kursi nih." Ujar Samudra sambil menunjuk kursi di sebelah Rafa.

Entah sejak kapan Arnesh merasa dirinya begitu bodoh dalam mengungkapkan perasaan. Hatinya meraung ingin memeluk sang adik dengan erat, tapi kedua kakinya seolah kaku untuk bergerak mendekat. Ia ingin turut bergabung setiap kali melihat Samudra bercanda dan tertawa dengan Rafa, tapi bayangan ingatan perkataan kasarnya pada Samudra seolah menahannya. Sehingga ia hanya bisa ikut tesenyum dari kejauhan.

Arnesh ingin memulai. Memulai obrolan dengan sang adik, menjadi pihak yang mengawali untuk memperbaiki apa yang telah ia rusak.

"Sini dong. Kata dokter lo tadi panik banget pas gue mau bangun. Sampe infus lo copot karena lo hampir lari-lari. Ini gue udah bangun beneran, nggak pengen peluk?"

Arnesh kalah telak. Pada kenyatannya, Samudra memang lebih handal melakukan semua. Anak itu bisa dengan tegas mengatakan apa yang ia rasa, setidaknya pada dirinya. Dari tempatnya berdiri, Arnesh dapat melihat kedua mata Samudra yang menatapnya dalam. Arnesh masih membeku, otaknya kelu harus bagaimana menjawab pertanyaan sang adik.

"Perlu gue yang ke situ?"

Samudra bergerak pelan berniat bangun. Tapi ternyata ia sedikit kesusahan karena bagian yang luka di perutnya masih terasa sakit untuk menerima pergerakan. Apalagi tubuhnya juga masih lemas. Melihat itu Arnesh terkesiap. Bahkan sampai akhirpun, apakah harus Samudra yang harus bersusah payah sendirian?

Cukup. Arnesh tidak mau lebih egois dari ini. Lelaki itu memantapkan hati seiring dengan langkah cepat kakinya menjangkau tempat tidur sang adik. Arnesh mendekat dan memeluk Samudra sebelum anak itu selesai melepas selimutnya.

"Gue seneng lo bangun." Ucap Arnesh di tengah peluk eratnya.

Samudra dengan senang hati membalas pelukan itu, ia tersenyum tulus. Ia hampir lupa bahwa pelukan sang kakak terasa sehangat ini. Ada begitu banyak hal yang membuatnya lelah berharap. Tatapan dingin dan kata-kata kasar yang kerap terucap sering kali membuatnya ingin menyerah. Tapi hari ini, semuanya terbukti bahwa usahanya tidak sia-sia. Takdir bahagia akan datang ketika waktunya tiba. "Makasih karena lo udah mau peluk gue lagi, kak."

"Maafin gue, Dra." Bisik Arnesh ditengah usahanya menahan tangis.

Samudra mengusap pelan punggung sang kakak. Ia pernah meragukan dirinya sendiri, apakah ia bisa memperbaiki hubungan keluarganya yang telah hancur berantakan? Apakah ia bisa menepati janjinya pada Bunda untuk membawa sang kakak 'kembali' ke rumah yang telah retak ini. Tapi nyatanya, sekarang semua sudah terjawab. Ia berhasil.

Fixing the BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang