Trip At Abulia

95 24 3
                                    

Aku duduk di atas tempat tidur. Tidak punya selera lagi untuk tidur. Untuk apa coba, bekunjung ke tempat aneh seperti itu? 

Aku mencoba mencari kegiatan lain. Kegiatan yang bisa mengusir kantuk tentunya. Aku berencana tak tidur malam ini. Entah berhasil atau tidak, dicoba saja dulu. Ku keluarkan handphone yang sejak tadi pagi di dalam tasku. Ku aktifkan. Percuma, sinyalnya tidak ada! Baik, bisa ku atasi. Setidaknya aku main games. Dua jam. Lama-lama bosan juga.

Aku beralih ke novel yang ku bawa dari Jakarta. Dua jam setengah. Mataku pegal juga. Mataku lelah. Aku menguap. Hmm... aku harus apalagi?

Aku mencoba ke luar kamar. Semua orang sudah tertidur. Ya ampun, beberapa Pamanku tidur teapt di depan TV. Gagal sudah aku berencana menonton.

Aku ke kamar lagi. Kali ini merebahkan badan. Aku menyerah. On the way to Abulia. Aku memejamkan mata. Tidur. 

Tiba-tiba aku sampai di kegelapan lagi. Aku tidak panik, tidak berteriak. Pengalaman memang guru terbaik. Sekarang tinggal menunggu pintu bercahaya jatuh. Aku terdiam di posisiku yang duduk dengan kaki bersila.

Gubrak! Yang ditunggu jatuh juga dari atas sana. Pintunya. 

Aku dekati pintu itu. Ku sentuh gagangnya. Pintu pun terbuka. Aku melangkah masuk. Hm, tempat yang sama sepeti kali pertama aku mendarat di sini.

" Hai, Dian. Kau datang lagi " Mili menyapa. Entah tau darimana dia aku baru memasuki pintu. Aku sempat berpikirr, apa dia menunggu kedatangan orang-orang di depan pintu? Entah. Aku hanya mengangguk tersenyum. 

" Dian, ayo ikut aku. Aku akan membawamu keliling Abulia, dunia barumu " Mili menarik tanganku

" Tapi sebelumnya, bawa aku ke rumah orangtuaku di Abulia, Mili. Aku ingin bertemu mereka " Aku meminta

" Baik, Dian. Ayo, " Mili menarik tanganku. Aku mengikuti langkahnya.

Rumahnya tak jauh dari pintu jalan masuk ke Abulia. Rumahnya sederhana. Terbuat dari kayu. Semua rumah di Abulia nampaknya terbuat dari kayu.

Mili mengetuk pintu. Pintu dibukakan oleh wanita yang kemarin. Yang menggandeng suaminya di lapangan. " Dian, anakku. Kau kembali nak? Ayo masuk " wanita itu membukakan pintu dengan lebar. Kami melangkah masuk.

Rumah di alam mimpi sama saja dengan rumah di dunia nyata. Ada perabotan, ada barang-barang juga. " Wan kamu sedang pergi memancing ikan, Dian " wanita itu berkata lagi.

" Wan? Wan itu apa? " Aku bertanya polos.

Wanita itu tertawa. " Maaf aku lupa mmeberitahu mu, nak. Wan itu sebutan Ayah di Abulia, sedangkan Ibu disebut Wen disini. Nah, mulai sekarang, kau tinggal di rumah ini setiap berkunjung di Abulia. Kami Wan dan Wen mu .. " tuturnya. Aku mengangguk-angguk. Wan. Wen. Cangggung sekali menyebutnya .

" Hm, Wen, kalau begitu nanti aku kembali lagi ke sini. Aku masih mau berjalan-jalan di Abulia bersama Mili "

" Ya sudah, Nak. Tidak apa-apa. Tapi ingatlah, peraturan pertama di Abulia adalah, jangan berteriak. Itu akan membuat suaramu perlahan habis disedot angin " . Peraturan macam itu? 

" Iya wen " Aku mengangguk pura-pura menerima.

" Kami pergi dulu.. " Mili menarik tanganku keluar.

                                                        -------------------

Mili mengajakku berkeliling Abulia. Banyak sekali tempat-tempat aneh disini. Ada taman inspirasi. Kata Mili, jika kita berada di taman ini, akan banyak inspirasi yang muncul. Aku belum mencoba. Nanti saja. Mungkin saat ada tugas mengarang Bahasa Indonesia aku nongkrong di taman ini.

Selanjutnya, ada rumah sehat. Seperti rumah sakit di dunia nyata. Tapi bedanya, tidak ada dokter, tidak ada perawat. Yang ada hanya tabib yang tinggal dan mengurus rumah besar ini. Siapapun yang sakit, boleh mengambil obatnya sendiri jika tidak terlalu membutuhkan tabib. Di sini banyak sekali obat dari tanaman. Hm, unik.

Satu lagi yang unik, sungai pasir. Sungai ini tidak mengalirkan air, tapi pasir. Iya pasir. Warna pasirnya putih. Tempat ini dipenuhi anak-anak. Kata Mili, anak-anak memang suka bermain di sini. Hm, anak-anak di Abulia suka main pasir juga ternyata. Baiklah.

 Lalu aku bertanya, apa kegiatan rakyat Abulia? Apa mereka juga mengenal bekerja?

" Rakyat Abulia hidup hanya untuk satu tujan. Merawat alam dan Abulia yang kecil ini agar terus hidup dan tidak mati. Itu saja, tidak ada pekerjaan lain. Jadi yang orang dewasa lakukan tiap hari adalah mengawasi alam, memperbaiki jika ada kerusakan, maka Abulia akan tetap hidup " jelas Mili

" Jika tidak ada yang merusak Abulia, maka kalian tidak bekerja? " Aku bertanya heran

" Dian, Abulia sangatlah rapuh. Satu orang yang membenci mimpinya, Abulia akan mengalami kerusakan. Entah itu kecil atau besar. Tugas kami adalah merawatnya. " 

" Benarkah? Membenci mimpi bisa merusak Abulia? " Aku bertanya lagi. 

Mili mengangguk meyakinkan. Baiklah aku paham sekarang.

 Tiba-tiba ada suara jam berdentang. 

" Dian, kau harus pulang. Tubuh nyatamu kelelahan. Kau sudah terlalu lama di Abulia. Jika aku tidak pulang sebentar lagi, besok pagi kau akan bangun dengan sangat lelah. Ayo pulang.. "  Dia menarik tanganku. Oh. Jadi begitu. Otakku memberi alaram pada Abulia jika tubuhmu sudah lelah dan butuh istirahat.

Baiklah. Selamat tinggal Abulia. Aku keluar dari pintu. 

Selanjutnya gelap. Ku rasa aku benar-benar tidur. Tidur yang sesungguhnya.

     

        

       

ABULIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang