Misi Pertama Di Abulia

90 26 1
                                    

Jakarta. Aku pulang. Liburan di rumah Nenek sudah tergenapi. Lega rasanya, aku bisa kembali ke duniaku lagi. Tapi liburan kali ini,aku membawa perubahan besar pada diriku. Ya, apa lagi kalau bukan keistimewaan mengunjungi sebuah dunia dalam mimpiku.

Aku turun dari Honda Jazz yang berhenti tepat di depan gerbang. Gerbang tempat yang paling tak ku suka. S e k o l a h. Kenapa? Ada yang salah jika aku tidak menyukainya? Aku hanya jujur pada diriku sendiri. Aku tidak menyukai tempat ini.

Ku langkahkan kaki ku mendekati gerbang. Langkah pertama hingga langkah ketiga ku masih diiringi sebuah semangat. Tapi langkah selanjutnya, entah kemana semangatku pergi. Belum lagi aku teringat pelajaran pertama hari ini. Hmmm. Aku akan berurusan dengan limit dan logaritma lagi. Kaki ku langsung linu. Seperti tak sanggup berjalan lagi. Sebegitu seramkah? Jawabannya, iya!

Begitu bel berbunyi, sindrom Matematikaitis ku kambuh. Ya, sindrom matematikaitis, sindrom yang muncul hanya ketika akan menghadapi sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Sindrom ini dapat berupa badan kaku seketika, perut mulas, kepala pusing, badan meriang, dan masih banyak lagi bentuknya. Tapi yang sedang ku alami sekarang, badanku kaku, tanganku dingin, wajahku pucat.

Tidak perlu ku jelaskan detil dua jam bersama Bu Ana hari ini. Tidak perlu ku jelaskan juga aku menghabiskan hari ini di tempat yang tidak aku suka. Begitu bel pulang berbunyi, cepat-cepat aku pulang. Sesampainya di rumah, ku rebahkan diri di tempat tidur. Aku ingin ke Abulia. Abulia, aku datang.

Aku tenggelam dalam kegelapan untuk ke sekian kalinya. Aku memasuki pintu bercahaya yang jatuh dari atas. Tepat. Mili telah ada menyambutku.

    " Hai, Dian, kau datang lagi.. " Aku sampai hampir hafal sambutan pertamanya itu.

" Aku jenuh sekali sepulang sekolah, Mili. Aku ingin bermain bersamamu hari ini " Aku berkata ceria.Tapi tiba-tiba muka Mili berubah cemas. 

" Kita tidak bisa bermain hari ini, Dian. Kita harus menjalankan misi hari ini, bersama warga Abulia yang lain " 

" Misi? Misi apa Mili? " 

" Kau sudah tau kan, tugas kami adalah menjaga Abulia dari setiap kerusakan yang terjadi jika manusia memnbenci mimpinya. Hari ini, banyak sekali kerusakan di Abulia, Dian. Aku tidak tau apa yang terjadi dalam mimpi manusia hari ini sampai mereka merusak alam kami.. " 

" Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang Mili? ". 

Mili tidak menjawab. Dia menarik tanganku dan berlari. Lagi-lagi berlari.

Mili ternyata membawaku ke tamabn inspirasi. Astaga. Taman indah itu kini hancur berantakan. Jamur-jamur teduh yang biasanya menjadi tempat sejuk untuk sekedar duduk-duduk telah tumbang, berjatuhan ke rumput. Kolam ikan yang airnya jernih telah beruah menjadi cokelat pekat. Air mancur di sisi kolama juga memancarkan air yang keruh. Taman ini terasa gersang sekarang. Tanaman-tanaman lain ikut berlayuan.

" Kita harus membenahi kerusakan di Abulia dengan serbuk-serbuk ini.."

" Ini serbuk apa Mili? " 

" Entah. Wan dan Wen ku bilang, serbuk ini untuk memperbaiki semua kerusakan di Abulia. Tapi hanya untuk memperbaiki kerusakan di Abulia. Taburkan saja pada tempat yang rusak, nanti akan berubah kembali seperti semula. " 

Hanya begitu saja? Nikmat sekali memperbaiki sesuatu yang rusak di sini. 

" Cepatlah, kita harus berlari ke tampat lain. Ku dengar hampir semua sisi Abulia mengalami kerusakan. " Mili mendesakku.

Selesai. Tak sampai sekitar 5 menit aku rasa, semua telah kembali seperti semula. 

Mili mengajakku berlari lagi ke rumah sehat. Ya ampun, rumah tabib hancur berantakan. Ramuan berserakan diluar rumah. Tanaman obat-obatan juga layu. Ku lihat banyak orang yang sepertinya sudah dewasa membenahi tempat ini. 

 " Kita ke tempat lain saja, disini sudah ditangani orang lain .. " Mili menarik tanganku. Lagi. Dan lagi-lagi.

Kami sampai di rumah warga Abulia yang tak jauh dari rumah sehat. 

" Ya ampun, mereka hanya membenahi tempat penting di Abulia, tapi rumah mereka sendiri tak diperbaiki " Ku lihat Mili telah menaburkan serbuk-serbuk itu di sekitar rumah yang hancur. Aku bekerja di rumah yang sedang ditangani Mili. Rumah-rumah ini luas sekali. Aku hampir kelelahan mengitari nya sambil menebarkan serbuk. 

Kami melakukan hal yang sama pada banyak rumah. Aku tak sempat menghitung. Harus bergerak cepat, sebelum Mili meninggalkan ku pergi. 

" Ya ampun, aku lupa menyelamatkan sesuatu.. " 

Mili terlihat panik dan membawaku berlari. Jujur saja, aku heran kenapa aku kuat berlari secepat ini. Sedangkan di dunia nyata, berlariku sangat lambat. Aku cepat terengah-engah. Sudahlah, nanti saja kita bahas itu.

Kami memasuki tempat yang sepi dan jauh dari rumah warga dan pusat Abulia. Tempat terpencil. 

" Aku lupa menyelamatkan makam Adikku.. " Mili menangis sambil menaburi serbuk di atas tanah petak yang berwarna putih, seperti pasir putih. Setelah di taburkan, tanah putih itu kembali menjadi cokelat tua. Tidak ada bedanya dengan tanah lainnya.

Aku tidak berbuat apapun. Hanya mencoba menenangkan Mili yang asih menangis penuh sesal selepas membenahi makam adiknya itu.

" Semua oran yang meninggal di Abulia akan di makamkan, namun tanahnya tetap menyatu dengan tanah lain, tanpa diberikan pembeda. Aku sangat mencintai adikku.. " 

" Pasti dulu adikmu baik sekali, jadi kaus angat mencintainya. Beda dengan adikku, yang nakal sekali .. " Aku teringat Dion.

" Cobalah sekali saja kau menjadi teman untuknya, maka rasa benci itu sebenarnya tidak ada. Kau yang membuatnya sendiri .. " 

Aku terdiam. Bel otakku berbunyi. Aku harus kembali ke dunia nyata.

Bangun. Mataku membuka. Ku rasakan tanganku berlumur pasir. Ternyata sisa serbuk yang ku pegang tadi. Aku keluar dari kamar, menuju ke kamar mandi untuk mencuci pasir ini. 

Baru beberapa langkah aku keluar dari kamar, Dion menabrakku dari belakang. Tubuh mungilnya terduduk tepat di belakangku. Aku ingin sekali memarahinya. Tapi entah mengapa, aku teringat kata-kata Mili tadi di Abulia. Aku harus mencoba menjadi teman baginya.

Aku tersenyum. Ku ulurkan tanganku dan ku bantu Dion berdiri. Untuk pertama kalinya aku menyadari, wajah adikku ini lucu sekali ketika terjatuh. Ku peluk dia. 

   

    

    

ABULIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang