Minggu pagi. Sinar matahari pukul tujuh menembus ke dalam tirai jendela kamarku. Silaunya sudah cukup menyadarkankan ku minggu pagi telah tiba. Tapi, badanku tetap saja tak beranjak dari tempat tidur. Malah ku tenggelamkan wajahku lebih dalam di balik selimut.
Tuk,tuk,tuk. Seseorang mengetuk pintu kamarku dengan gusar.
Tuk,tuk,tuk. Dulanginya lagi ketukan yang sama. Kali ini diiringi teriakan " Kakakk bangunnn... " dari balik pintu kamar. Dion. Anak itu bersemangat sekali membangunkanku.
Kemarin aku memang berjanji kepadanya untuk membelikan sepaket lego hari ini. Dion tentu melonjak kegirangan. Lego itu dunia Dion. Entah kapan persisnya Ayah dan Ibu mengenalkan Dion pada blok-blok lego. Yang ku ingat, sejak Dion bisa berjalan, rumahku sudah berserakan lego dimana-mana. Meski lego-lego ini telah merusak suasana apik rumahku, Ayah tak pernah berhenti mebelikannya untuk Dion. Ayah bilang, lego bisa membantu perkembangan otak adikku, terutama kreativitas dan ingatannya. Yah, kita lihat saja nanti.
" Kakakk bangunn.. Kak Dian bangunn.." Dion berteriak lagi. Kali ini aku terpaksa mengalah. Ku angkat badanku dari tempat tidur. Ku seret kakiku dengan malas ke depan pintu. Aku membuka pintu kamar, " Iya Dion. Kita jadi pergi kok. Kakak mandi bentar yaa.. " Ucapku . Dion mengangguk. Lucu sekali.
Hampir 40 menit aku bersiap. Setelah pamitan pada Ibu aku dan Dion berangkat naik taksi langsung menuju toko mainan yang khusus menjual lego itu.
Begitu sampai, aku tak tahan ingin tertawa. Tak sengaja ku lihat Dion membesarkan matanya tanda sambil membuka mulutnya sedikit sebagai tanda kagum . Anak nakal ini berubah lucu sekali saat itu.
" Kak, Dion mau yang ituuu... " Dion sibuk menunjuk lego yang dimaksudnya. Tapi aku tak memperhatikannya. Ada sesuatu yang menarik perhatianku.
" Iya, Dion pilih aja yang mana. Dion jangan jauh-jauh, ya. Kakak mau ke sana dulu.. " Aku meninggalkan Dion. Seketika aku lupa betapa berbahayanya meninggalkan Dion di tempat ramai seperti ini. Aku gelap mata.
Entah. Aku hanya terkejut melihat seorang anak perempuan yang mirip sekali dengan temanku, Mili. Tapi, tentu tidak mungkin Mili ada di sini. Mili kan hanya ada di dunia mimpi. Aku tidak sedang bermimpi. Aku sedang sadar seratus persen.
Aku mendekati gadis perempuan yang mirip sekali dengan Mili itu. Aku menepuk pundaknya. Gadis itu menoleh. Aku sempurna menganga. Tubuhku merinding. Sungguhan mirip Mili!
" Mili?! " spontan saja aku ucapkan namanya.
Mili tersenyum. Semua gelap seketika. Aku hilang ingatan.
---------
Seseorang menarik-narik tanganku. Awalnya pelan. Lama-lama dia menarik tanganku keras sekali. Aku membuka mata. ASTAGA! Kenapa aku bisa tertidur di kursi di sudut ruangan toko lego ini?
" Kakak, kok tidur sih? Kelamaan ya nunggu Dion pilih legonya? "
" Ah, nngg..nggak kok. Kakak.. hmm, capek aja hehe " Aku beralasan. Habis aku juga tidak tau kenapa aku bisa tertidur di sini.
" Kak, kalung kakak mana? "
Spontan aku langsung meraba leherku. Kalung bulan bintang itu tidak ada. Aku ternganga lagi.
" Hilang ya kak? Atau jatuh? " Dion menunjukkan muka paniknya. Ingin sekali ku jawab, iya kalung itu hilang tiba-tiba. Tapi tak mungkin, Dion tak akan mengerti. Malah memperpanjang masalah jika dia tau kalung itu hilang. Aku berbohong saja, " Oh, kakak lupa pakai.. " .
Ku minta pada Dion untuk segera memutuskan lego yang akan dibelinya lalu ku ajak dia pulang segera. Sekarang aku melupakan sejenak liburan di hari minggu bersama Dion. Aku hanya ingin menelpon Nenek!
KAMU SEDANG MEMBACA
ABULIA
Short StoryAbulia bukanlah nama. Abulia bukan juga istilah yang mengkiaskan sesuatu. Abulia adalah tempat. Tempat tak beralamat. Tempat penuh misteri. Abulia bukan tempat tujuan liburan, tapi tempat menjalankan misi.