Hampir dua minggu kalungku hilang. Hufth. Hampa sekali hidup ini tanpa berkunjung Abulia. Aku penasaran sekali, apa yang membuatku tidak bisa berkunjung ke sana hingga selama ini? Apa yang terjadi? Entahlah. Tak ada yang dapat menjawabnya.
" Bu, aku pulangg.. " Aku sedkit berteriak sambil memasuki pintu rumah. Dion menyambutku. Riuh sekali.
" Kakak pulang... asikk. Kakak ayuk ke kamarku, kita main yukk " Dion menarik tanganku. Manja sekali dia hari ini.
" Dion, Kakak kan baru pulang sekolah. Mau ganti baju dulu, mau makan dulu. Mainnya nanti ya sayang.. " Ibu berkata lembut.
" Nggak apa-apa kok,Bu. Dian lagi gak ada tugas juga. Paling juga Dion ngajak mainnya bentar " Aku membela Dion. Wajahnya sumringah.
" Tapi .. " Ibu menggatung kata-katanya. Aneh. Kenapa Ibu seperti berusaha menghalangiku? Apa ada sesuatu disini?
" Ada yang ingin Ibu katakan, Dian. Ini tentang Abulia " Ibu berbisik di telingaku pelan. Tentu saja agar Dion tak mendengarnya.
" Dion, kamu ke kamar duluan ya. Bentar lagi kakak nyusul, yaa .. " Aku mensiasati. Dion menurut dan berlari ke kamarnya.
Ibu merogoh saku celananya. KALUNGKU!
" Iii..Ibuu... Kok kalungku.. " Aku tercengang.
" Tadi Ibu menemukannya di balik bantalmu waktu Ibu beres-beres tadi pagi " . Ibu memakai kan kalung itu padaku. Ternyata tabib telah mengembalikan kalung itu.
" Jaga baik-baik ya, Dian. Jangan tercecer lagi .. " Ibu menasihatiku lalu pergi.
Ibu tidak tau saja kalung itu hilang dengan misterius. Hmmmm.
-----------
Benar yang ku katakan. Dion tidak akan mengjakku main dengan waktu yang lama. Paling mentok juga satu jam. Kalo dia sudah asyik sendiri, dia bisa lupa kalau ada orang lain di sebelahnya. Atau yang ada dia kelelahan dan tertidur sendiri.
Aku hanya menemainya bermain tak lebih dari 30 menit. Dia tertidur sendiri. Aku heran. Padahal sebelumnya Dion menantangku bersaing merangkai lego tercepat dan terbanyak. Aku memang konsentrasi melakukannya. Wajar kan aku ingin menang dari adikku? Ketika aku setengah jalan merangkai lego, ku toleh ke arah Dion dan dia telah tertidur. Huh.
Aku meninggalkan Dion yang tertidur. Aku segera ke kamar dan pergi ke Abulia.
Benakku sudah terlalu penuh dengan tanya.
Aku merebahkan diri. Proesnya cepat sekali. Semua gelap. Pintu jatuh. Dan tibalah aku di Abulia.
" Hai Dian.. Kau datang lagi " Kalian pasti tau siapa gadis yang selalu menyambutku di pintu Abulia.
" Hai Mili. Lama sekali aku tak bertemu denganmu .. "
" Dian, ayo ikut aku ada yang harus ku jelaskan padamu " Sepertinya Mili telah membaca gelagatku yang ingin menanyakan apa yang terjadi dua minggu kemarin. Dia menarik tanganku. Dan mengajakku berlari. Masih seperti pertama kali dia menyambutku.
Kami sampai di sebuah........ Danau.
Sumpah. Danau itu indah sekali. Tapi sepertinya baru kali pertama ini aku melihat danau ini. Seingatku sebelumnya di sekitar danau ini hanya ada rumah-rumah kecil. Mili tak pernah bilang kalau di Abulia ada sebuah danau.
" Kemarin, danau ini baru terbentuk. Namun sebelum terbentuk banyak kehancuran yang terjadi di Abulia, Dian .. "
" Apa karena manusia membenci mimpinya lagi? " Aku bertanya.
" Iya. Kau betul. Tapi danau ini terbentuk karena orang-orang yang mencintai mimpi mereka. Aku bersyukur, masih ada yangmencintai mimpi mereka dan akirnya terbentuklah danau ini " Mili bercerita.
" Lalu, jika hanya itu yang terjadi, kenapa aku tak boleh datang ke Abulia, Mili? "
" Ingatlah Mili, semua tempat punya aturannya sendiri. Suka tak suka, mau tak mau, harus atau tidak, yang bisa kaku lakukan hanyalah ,mengikuti aturan yang ada. "
Aku diam. Benar juga yang Mili katakan. Baik. Aku mengalah.
" Dian.. kami sangat membutuhkan bantuanmu.." Mili tiba-tiba menatapku serius
" Tentu aku siap membantu semampuku, Mili .. " Aku menjawab
" Akhir-akhir ini, banyak sekali manusia yang membenci mimpi. Entah mengapa. Mereka mungkin hanya mengira mimpi itu hanya membuat pertanyaan dan teka-teki baru bagi hidup mereka. Dampaknya Abulia akan semakin rusak parah "
" Lalu apa yang bisa kulakukan Mili ? " Aku penasaran.
" Bantulah kami meyakinkan pada mereka untuk tidak membenci mimpi. Tak harus mencintai mimpi. Setidaknya menerima mimpi itu. Karena terkadang keputusan yang terbaik adalah menerima.. "
" Tapi bagaimana caranya? "
" Menjadi agen mimpi " Mili berkata singkat.
---------------
Agen mimpi. Terdengar asing. Juga terdengar janggal. Tapi aku mencoba melakukannya. Demi Abulia. Tapi apa yang harus kulakukan?
Menyebar selabaran dan poster bertuliskan " Love your dream " ? TIDAK MUNGKIN.
Berkoar-koar di pinggir jalan dan berkata " Jangan benci mimpimu demi kelangsungan hidup di Abulia " ? HAHA. MUSTAHIL.
Hm. Yang bisa kulakukan adalah menjadi tempat curhat teman-temanku tentag mimpi mereka. Lalu kuyakinkan mereka untuk menerimanya. Bukan membencinya. Logis.
Ku harap kau tak pikir bahwa aku sudah gila. Aku akan mengerjakannya. Hai, aku agen mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABULIA
Short StoryAbulia bukanlah nama. Abulia bukan juga istilah yang mengkiaskan sesuatu. Abulia adalah tempat. Tempat tak beralamat. Tempat penuh misteri. Abulia bukan tempat tujuan liburan, tapi tempat menjalankan misi.