Aku duduk terdiam di tempat tidur. Memilih merangkai mimpi yang baru saja kulewati daripada memarahi adikku yang tadi telah membangunkan aku dari mimpi absurd. Ku coba mengingat-ingat lagi apa yang ku lihat di mimpi tadi. Mulai adri pintu yang tiba-tiba jatuh, Mili, Abulia. Lalu, kenapa mereka mengenal aku. Mengapa mereka bilang aku cucu terpilih? Ah. Tak sampai akalku menyimpulkannya sendiri.
Tanpa aku sadari, Ibu sudah masuk ke kamar dan mendekatiku. " Kenapa Dian? Kok melamun? " Ibu bertanya keheranan mekihat aku yang sama sekali tak menyadari kedatangan Ibu.
" Hm .. Tadi, Dian mimpi aneh, Bu " Aku berkata singkat. Aku berharap Ibu tidak memintaku menceritakannya. Tak perlu ku jelaskan. Ibu pasti tak mengerti juga.
Tak kuduga, Ibu menjawab, " Temuilah Nenekmu. Ibu yakin Beliau akan memberikan jawaban dari kebingunganmu ini, Nak" Ibu memberi saran. Nenek? Sungguh? Jangan-jangan Nenek malah rewel tak mengerti jika aku jelaskan rangkaian mimpi tadi padanya.
Ibu menatapku. Mencoba meyakinkan. Aku mengalah. Aku pergi ke kamar Nenek.
--------
Tuk,tuk,tuk. Ku ketuk kamar Nenek tiga kali. Lalu kubuka pintunya. Ku lihat Nenek sedang menulis di tepi tempat tidur. " Masuk, Nak " sambut Nenek sambil tersenyum.
" Duduklah.. " tawarnya lagi. Aku menurut.
" Hm, Nek. Aku tadi tertidur dan bermimpi aneh " Aku mencoba memulai percakapan sebelum Nenek bertanya.
" Benarkah? Apa yang kau ingat dari mimpi itu, Dian? "
" Terlalu banyak hal yang tidak ku mengerti Nek. Pintu yang jatuh tiba-tiba, lalu aku memasuki Abulia. Di sana mereka mengenal aku .. " Tak berselera lagi aku menjelaskan semuanya.
" Sudah saatnya kau tau, Dian .. "
" Tahu? Tahu tentang apa, Nek? " aku makin heran lagi. Sempurna aku kehilangan akal.
" Tentang Abulia..."
Nenek bercerita panjang lebar mengenai ABULIA. Sekarang aku mengerti. Ini takdirku.
-------
Semua ini berawal dari kalung dengan mainan berbentuk bulan dan bintang yang diberikan Nenek itu. Ternyata, kalung itu adalah pintu masuk sekaligus kunci menuju Abulia. Abulia adalah tempat. Tempat tak beralamat. Tempat ini hanya bisa ku kunjungi ketika aku sudah tertidur. Ya, Abulia adalah alam mimpi. Tapi, bukan alam mimpi biasa. Abulia punya banyak penghuni. Abulia juga bukan kota mati. Tanpa aku tertidurpun, kota itu tetap hidup, warganya tetap hidup. Hanya aku tidak bisa ke sana jika aku tidak tertidur. Itu kata Nenek.
Dari Nenek juga aku tau, bahwa bukan hanya aku saja yang pernah datang ke Abulia dari dunia Nyata. Tapi Nenek sendiri juga mengalaminya, Paman Ari juga. Selanjutnya diturunkan ke aku. Nenek bilang, kalung ini harus diberikan pada satu orang di tiap generasi. Tidak boleh terputus. Nenek juga mendapat kalung ini dari generasi sebelumnya. Anehnya, kalung ini tak usang.
Kenapa harus aku? Cucu Nenek, kan sangat banyak?
Nenek bilang, warga Abulia lah yang memilihku sendiri. Kalian mungkin telah salah pilih.
Baiklah ku lanjutkan, Nenek juga menyampaikan bahwa di Abulia, aku akan menjadi warga di sana. Aku juga punya orangtuan di sana. Bukan orangtuaku di dunia nyata, tentunya. Dan setelah mendengar penjelasan ini, aku tau bahwa sepasang lelaki dan perempuan yang mengaku orangtuaku dalam mimpi kemarin adalah orangtua ku di Abulia.
Lalu Nek, untuk apa aku ke Abulia setiap tertidur?
Nenek bilang, aku tak selalu ke sana setiap tertidur. Aku hanya akan kesana ketika aku menginginkannya. Itulah satu-satunya kabar baik yang bisa ku serap.
" Berkunjunglah ke Abulia nanti malam, Dian. Kau tidak akan pernah membenci tempat menyenangkan itu. Tanyakan pada orangtuamu aturan apa saja yang ada disana. Ingatlah, setiap tempat punya aturannya sendiri.." Nenek berpesan di akhir percakapan.
Aku merasa ada batu sepuluh kilogram di punggungku. Mulai detik itu, aku mulai membenci tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABULIA
Short StoryAbulia bukanlah nama. Abulia bukan juga istilah yang mengkiaskan sesuatu. Abulia adalah tempat. Tempat tak beralamat. Tempat penuh misteri. Abulia bukan tempat tujuan liburan, tapi tempat menjalankan misi.