Begitu sampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Jantungku berdebar. Peluhku berjatuhan. Aku ketakutan. Bagaimana jika Nenek memarahi aku lantaran kalung itu hilang? Bagaimana Nenek tidak marah, kalung itu bukan kalung biasa. Lagipula, tanpa kalung itu aku tidak bisa masuk ke Abulia lagi. Kemampuan berkunjung ke Abulia yang diturunkan Nenek juga akan terhenti, tidak akan dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Kalungnya hilang. Maka Abulia pun hilang dari kami.
Aku menarik nafas, mengumpulkan keberanian. Tanganku dingin dan sedikit gemetar mencari nomor Nenek di handpone ku. Ku tekan Call. Ku dekatkan handphone ke telinga. Suara nada sambung terdengar.
Tut..tut...tut..
" Halo.. " Nenek menjawab teleponku dari seberang sana. Glek! Aku menelan ludah.
" Halo, Nek. Mmm.. Ini Dian, Nek "
" Oh cucuku. Apa kabar, nak? Tumben menelpon Nenek.."
" Kabar Dian.. kurang baik Nek " Aku mulai cemas
" Ada apa, Dian? Kamu sakit? " Nenek terdengar sedikit panik
"Hmm.. Bukan itu, Nek. Tapi.. " Aku memutus ucapan ku. Lidahku kaku sekali mengatakannya pada Nenek.
" Kenapa, nak? " Nenek mengulangi pertanyaan itu lagi.
" Kalung pemberian Nenek hilang " Aku mengatakannya. Pelan. Nyaris berbisik. Ku harap Nenek mendengarnya. Dan ternyata Beliau sungguhan mendengarnya.
" Bagaimana itu bisa terjadi Dian? Tolong ceritakan pada nenek.. " Nenek meminta.
" Tadi pagi aku menemani Dion membeli lego, Nek. Di sana aku bertemu gadis yang mirip sekali dengan Mili, temanku di Abulia. Ku pikir itu sungguhan Mili, Nek. Aku mendekatinya dan mencoba berbicara dengannya. Dia tersenyum padaku, Nek. Lalu tiba-tiba semua gelap. Aku tak tau apa pun, Nek.. " Tanpa terasa aku terisak.
" Lalu? "
" Lalu Dion menarik tanganku. Saat itulah aku terbangun, Nek. Entah bagaimana aku bisa tertidur di pojok toko mainan itu. Lalu waktu aku meraba leherku, kalung itu sudah hilang.. "
" Tenanglah, Dian. Tak perlu menangis.. ". What? Aku betulan tidak menyangka dengan respon Nenek. Ku pikir Nenek akan memarahiku habis-habisan.
" Tapi, Nek. Aku telah menghilangkan kalung itu. Dan.. aku telah membuat Abulia hilang dari kita.. "
" Kau tidak menghilangkannya. Tenanglah, Nak. Abulia akan segera kembali ". Lalu sejak percakapan minggu itu aku makin mengenal satu lagi identitas Abulia.
-----------
Ternyata kalung itu tidak hilang. Kata Nenek, siapapun yang terlihat sangat mirip dengan orang-orang di Abulia sebenarnya adalah jelmaan tabib. Tabib menjelma menjadi orang yang ku kenali di Abulia hanya untuk mengambil kalungku sementara waktu. Menurut cerita Nenek, Jika kalung ku hilang, berarti ada sesuatu yang buruk terjadi di Abulia dan aku tak boleh mengunjunginya demi keselamatanku. Nenek tidak tau hal buruk apa itu. Yang jelas, Nenek bilang kalung itu akan kembali ketika Abulia sudah membaik. Aku tak perlu mencari kalung itu. Tabib yang menjelma akan datang lagi dan menemuiku. Kemarin kali pertamaku melihat jelmaan tabib. Mungkin untuk mempersingkat waktu, tabib langsung saja merenggut kalung itu dariku.
Aku lega. Sekaligus berduka. Juga mati-matian menduga.
Lega karena kalung itu ternyata tidak hilang, aku tidak bersalah. Berduka karena tak bisa mengunjungi Abulia. Aku juga sibuk menerka-nerka hal buruk apa yang terjadi di Abulia hingga aku tak boleh ada di sana?
Huh. Hidup tanpa Abulia tak pernah menyenangkan.Tidurku biasa-biasa saja. Aku tak pernah bermimpi. Semua kembali seperti dulu, saat aku belum bisa pergi ke Abulia. Aku tak bisa bermain dan berjalan-jalan bersama Mili. Aku juga tidak bisa ke taman isnpirasi. Padahal aku sangat ska mencari inspirasi untuk setumpuk tugas mengarangku di sana.
Tabib. Cepatlah kembalikan kalungku. Aku ingin ke Abulia. Secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABULIA
Short StoryAbulia bukanlah nama. Abulia bukan juga istilah yang mengkiaskan sesuatu. Abulia adalah tempat. Tempat tak beralamat. Tempat penuh misteri. Abulia bukan tempat tujuan liburan, tapi tempat menjalankan misi.