"Itu namanya cinta Ana..."
"Cinta pala lo!" Ana langsung berdiri, tak terima dengan suara menggema yang datang dari dalam kepalanya.
"Cinta, cinta. Gini gini gue juga pernah rasain yang namanya jatuh cinta ya! Jangan coba nipu gue. Ya, meskipun cuma sampe sebatas jatuh cinta doang-" kalimatnya tiba tiba terhenti, saat mengingat kembali masa cinta monyet ketika SMAnya yang hanya berakhir sampai menyukai diam diam saja, dikarenakan ibunya yang over protective semenjak kejadian kakaknya Juwita.
Ana mendadak diam. Nostalgianya berujung pada ingatan tentang percakapan dengan ibunya tadi di dalam ruang perawatan ketika mereka hanya berdua.
"Ana..." suara lemah itu terdengar begitu menyakitkan di telinga Ana.
Sambil menggenggam tangan ibunya, Ana menatap wajah keriput dengan mata terpejam di depannya.
"Iya bu, Ana disini..."
Setelah itu hening sebentar. Yang terdengat hanya suara deru nafas ibunya yang terdengar kesusahan, serta suara dari berbagai alat medis di dalam sana. Dengan susah payah Ana menahan air matanya.
"Ana sayang... Maafin ibu ya nak..."
Mendengar kata maaf yang menurutnya tak seharusnya dikatakan ibu, Ana makin tak kuasa menahan tangis.
"Buat apa ibu minta maaf? Ana yang salah. Ana udah buat ibu kecewa. Maaf kalau selama ini Ana banyak membangkang sama ibu."
Suara deru nafas kesusahan itu kembali terdengar jelas. "Ibu salah, karena sudah terlalu mengekang kamu selama ini" dengan pelan dan kesusahan, Bu Farida terus berbicara.
"Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Ibu nggak mau melihat kamu sengsara hanya karena kesenangan sesaat yang nanti akan membuat kamu menyesal."
Ana hanya diam, terus menahan rasa sesak yang berkecamuk di dadanya.
"Ibu juga tidak mau mengecewakan ayah kamu. Sebelum pergi, ayah berpesan pada ibu untuk menjaga kamu dan Rama yang masih menjadi tanggung jawab ibu. Ibu hanya ingin..." terdengar suara tangis tertahan dari Bu Farida yang langsung mengundang tatapan Ana.
"... Kamu menjalani hidup dengan baik. Ibu nggak mau kamu jadi bahan pembicaraan tetangga. Cukup sekali keluarga kita menahan malu."
Melihat air mata ibunya yang tetap mengalir walau dengan mata terpejam, Ana tak bisa lagi menahannya. Dalam diam, air matanya mengalir seakan meluapkan emosinya yang tertahan.
"Jika seandainya tuhan hanya mengizinkan ibu melihat satu hari lagi, ibu hanya ingin melihat hari dimana kamu menikah dengan laki laki baik yang bisa membahagiakan kamu."
Ana mendadak diam, menatap kosong pada lantai pucat rumah sakit yang dingin. Hatinya yang sekeras batu, terasa meleleh setelah mendengar ucapan ibunya yang terdengar sangat tulus. Tentang sebuah keinginan terpendam yang selama ini dia sembunyikan. Dibalik kerasnya Bu Farida yang selama ini selalu melarang Ana dekat dengan laki laki asing yang baru dikenal, ternyata tersimpan sebuah keinginan yang tidak pernah Ana duga.
"Kamu tidak perlu memberikan ibu cucu. Kalau kamu tidak mau, ibu tidak apa apa. Yang ibu inginkan hanya melihat kamu bahagia seutuhnya dengan orang yang baik dan tepat."
Demi apapun, hati Ana terasa benar benar seperti meleleh.
"Untuk terakhir kalinya, ibu mohon sekali... Segeralah menikah Ana... dengan laki laki manapun yang kamu mau. Jangan terlalu lama berada dalam hubungan tidak pasti yang takutnya nanti akan menjerumuskan ke dalam dosa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband-able
ChickLitAna pantang menikah, sebelum menemukan calon suami yang katanya husbandable. Namum, situasinya terbalik saat satu per satu insiden yang seolah memaksanya untuk segera menikah terjadi. Pada saat itu, semua laki laki terdekat yang berpotensi bisa di a...