18 | Seleksi Part 2

135 15 0
                                    

TTD Keluarga Pasien, Juwita Fardia Haq.

Ana menatap surat kwitansi pembayaran biaya rawat inap Ibunya dengan wajah datar, setelah beberapa menit yang lalu dokter memberitahu kalau Bu Farida sudah boleh pulang. Nama seseorang yang tertera sebagai penanggung jawab disana terlihat begitu indah untuknya yang hanya punya nama yang pendek tanpa embel-embel nama tengah ataupun nama keluarga di belakangnya.

"Juwita Fardia Haq" Ana mengucapkannya.

"Hadir."

Ana menengok ke asal suara dengan raut wajah judes, sudah tau siapa pemilik suara itu.

"Apa?" Ana berujar kesal.

"Bukannya tadi manggil?"

"Cuma baca doang" Ana menjawab kakaknya itu dengan singkat, lalu memalingkan wajah lagi.

"Oh, gitu... Kirain kangen."

"DIH OGAH!" Ana memekik tak terima sampai Juwita dan beberapa orang terdekat terkejut oleh suaranya.

"Biasa aja kali. Masih aja lebay kayak dulu" Juwita lalu duduk di bagian bangku yang kosong di dekat Ana.

Ana kontan menjauh. "Daripada masih aja nyusahin kayak dulu? Mendingan lebay daripada nyusahin."

Walau tau Ana menjauhinya, Juwita tetap mencoba mendekat. "An-"

"Lagian juga ini tagihan rumah sakit nanti gue kan yang bakal bayar? Terus kenapa nama lo yang nampang di sini?" Ana memotong perkataan Juwita.

"Ana-"

"Lo nggak usah ngomong lagi. Gue capek."

"Ana-"

Ana bangkit dari tempat duduknya. "Udah gue bilang, lo nggak usah ngomong lagi. Gue capek. Gue-"

"Analisa" Juwita menarik tangan Ana. "Tolong dengerin gue kali ini."

Ana mencoba melepaskan cengkraman tangan Juwita pada tangannya. "Lepas."

"Gue sama Mas Damar bakal pindah ke rumah Ibu."

Mendengar perkataan itu keluar dari mulut seorang Juwita, Ana seharusnya tak heran. Namun kali ini, Juwita sudah kelewatan sampai Ana kehabisan kata-kata. Ana menghela nafas berat, mencoba menahan rasa marahnya yang sudah berkecamuk di dada.

Juwita menggenggam erat tangan Ana. "Gue benar-benar minta maaf" ujar Juwita lemas. "Gue nggak tau harus pergi kemana lagi selain pulang ke rumah. Mas Damar bangkrut. Dia ditipu rekan kerjanya yang bawa kabur uang proyek. Rumah kami di sita perusahaan. Keluarga Mas Damar benar-benar marah sampai nggak mau menerima kami lagi saking seringnya minta bantuan ke mereka. Gue nggak tau harus kayak gimana lagi buat mengatasi masalah ini. Gue benar-benar minta maaf dan minta tolong Ana. Gue salah. Mungkin semua ini adalah konsekuensi untuk semua kesalahan yang sudah gue lakukan di masa lalu. Gue benar-benar minta maaf Ana. Bagaimana cara gue untuk menembus semua kesalahan itu?"

Ana menarik nafas dalam-dalam, sesekali mengerjapkan mata berusaha menahan air matanya agar tak merembes keluar. Dia kemudian menarik tangannya perlahan dari genggaman Juwita yang juga melemah.

"Terus menyesal. Gue nggak peduli lagi apapun yang terjadi sama lo."

Juwita menatap Ana dengan matanya yang memerah. "Apa gue sebegitu bersalahnya di mata lo sampai nggak ada sedikitpun jalan maaf bagi gue?"

Ana mengangguk dengan wajah tersenyum pedih. "Dengan lo minta maaf, itu nggak akan mengembalikan Ayah dan rasa percaya Ibu lagi kan?"

Setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Juwita. "Emang nggak bisa. Nggak akan pernah bisa" Juwita menghela nafas pelan. "Tapi setiap harinya, gue akan selalu berusaha meminta maaf. Baik itu ke lo, Ibu dan Rama."

Husband-ableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang