16 | Janji

145 19 0
                                    

Hawa dingin malam itu cukup menusuk sampai ke tulang. Membuat rumah sakit didominasi orang orang yang memakai jaket ataupun baju tebal lainnya. Tak heran, karena tepat hari ini, gerimis dengan intensitas yang cukup lama mengguyur ibu kota.

Begitu mi pesanan datang dengan asap yang masih mengepul, Ana kegirangan bukan main. "Makan mi anget anget di malam yang dingin begini emang mantep banget. Gue nggak jadi protes deh Mal. Heheh..." Katanya nyengir.

Mi yang diantar pertama tentunya menjadi milik Ana. Cewek itu menempelkan tangannya yang dingin di mangkuk agar mendapat sensasi hangat dari sana.

Juna yang melihat itu jadi peka, dan langsung membuka sweater miliknya untuk dipakai Ana. "Pake" katanya.

Ana sempat bengong sebentar. "Ini kegedean Junaedi..."

"Ya tau. Tapi pake aja. Daripada lo kedinginan begitu?"

Ana melihat Juna sekali lagi. "Tapi lo gak apa apa?"

Juna mengangguk. "Gue mah tahan dingin. Di lapangan aja sering kepanasan kehujanan. Kuat gue mah."

Entah kenapa, kontan Ana melihat ke arah Malik yang kini sibuk mengaduk mi pesanannya yang baru datang. "Aduhhhh... Juna emang pengertian ya... Husbandable bangett. Nggak kayak si mas itu tuh... Pake sweater juga, tapi nggak mau berkorban buat cewek."

Seketika, semua cowok yang memakai sweater di sana melihat ke arah Ana.

Ana yang merasa salah bicara, jadi meralat agar sindirannya agar lebih jelas dan spesifik mengarah pada Malik seorang.

"Ini loh maksudnya, Mas mas bersweater abu."

Lagi lagi, Ana salah bicara.

Ada dua lagi cowok yang memakai sweater abu disana selain Malik.

Ini kenapa orang yang pake sweater satu rumah sakit tersinggung tapi Malik sama sekali nggak merasa ya? Apa si Malik ini saraf yang bertugas dalam hal kode kodeannya udah putus, atau memang nggak ada sejak lahir?

"Ini loh, buat mas mas yang pake sweater abu polos didepan saya yang sekarang lagi ngaduk ngaduk mi rasa soto plus telur telurnya."

Ana sengaja berkata di dengan nada suara kecil, tapi dekat dengan Malik. Supaya lebih menusuk ke tulang rusuk.

Baru setelah itu, Malik sadar dan mengangkat wajah menghadap Ana. "Gue kenapa?"

"Lo nggak gentle!" Ana kesal.

"Hah? maksud lo?"

"Gak jadi deh" Ana memutuskan berhenti berurusan dengan Malik. Nggak ada faedahnya banget.

Lalu dengan kesal, Ana memakai sweater pinjaman Juna asal. Bodo amat deh kegedean sampai kelihatan kayak titan kolosal. Yang penting hangat. Daripada nunggu Malik peka mah sampe anoa bertelur pun nggak bakal kalau nggak ditegur mah.

"Btw Medit, katanya dompet lo ketinggalan. Kok bisa bayar sih?" Ana bertanya karena penasaran. Masih rada gedeg sih, tapi daripada nanti dibayarin pakai duit bakal nyopet kan susah. Urusannya sampai akhirat.

"Gue tadi telpon Umi pake telepon rumah sakit. Terus Umi anterin hape sama dompet pake gojek" jelas Malik.

"Oh, gitu. Yaudah, gue mau nambah deh kalo gitu. Gorengannya enak nih, masih anget. Sebagai pengganti kimchi" kata Ana sambil melirik Malik, mewanti-wanti kalau nanti dia akan protes atau menahannya. Tapi ternyata, tidak.

Hari ini memang benar benar dipenuhi dengan pertanyaan 'ada apa dengan Medit?'

...


"Nih!" Ana melempar kantong plastik bening ke arah Rama yang sedang bersantai di sofa ruang inap Ibunya.

"Apaan nih?" Kata Rama heran, tak mau menyentuh dulu. "Jangan jangan bom lagi."

Husband-ableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang