Tak mungkin tak familiar dengan pertanyaan ini.
'Ingin jadi apa saat dewasa nanti?'
Kalimat yang sering dilontarkan para guru pada murid-muridnya pengais ilmu di sekolah.
Dengan naifnya, tanpa rasa bersalah, memampang wajah polos, seorang anak kecil mengangkat tangannya.
Jawabannya pun tak sama monotonnya dengan pertanyaan sang guru.
'Jadi dokter, sensei!'
Ya, cita-cita yang mana hampir setengah bagian anak-anak di dunia mengharapkan hal itu.
Mengobati orang lain.
Berpenghasilan lebih dari cukup.
Jabatan tinggi.
Diinginkan sana-sini.
Dan banyak lagi kelebihannya, mengundang harapan polos anak-anak untuk berjalan tertuju padanya.
Cita-cita masalalu, ya...
Entah dunia yang semakin berat atau aku yang semakin lelah-lebih kearah malas, mulai memupuskan cita-cita itu.
Belajar ilmu pengetahuan sehari saja sudah memusingkan kepala.
Apalagi kalau sudah beranak-pinak jadi kimia, biologi, fisika. Haduh.Apalagi kau punya phobia dengan darah.
Melihat setetes saja tubuhku sudah gemetar, perutku mual.Hembusan nafas lelah keluar dari bibirku.
Berjalan pulang setelah seharian duduk di sekolah menengah pertama, berjuang mati-matian mendapat nilai A+ walau hasil masih saja sama.
Rasanya ingin menyerah, ingin sudahi saja semua."Apa papa dan mama marah kalau aku tak ingin menjadi seperti mereka?"
Gumamku selama kaki berjalan.
Awan di langit seketika menggelap, apa mereka mendengar suramku hari ini?
Semakin gelap, semakin tebal, bahkan guntur terdengar menggulung diatasnya.
Tak lama rintik jatuh, sedetik kemudian guyuran deras tumpah."G-gawat!"
Aku yang masih setengah jalan itu segera saja mencari tempag berteduh.
Bangunan apapun itu, pokok yang ada berandanya!Selang berlari terburu sambil menengok kanan-kiri, pandangku terjatuh pada sebuah toko tutup yang memiliki beranda.
Langsung saja aku berdiri disana, meneduhkan tubuhku yang sudah basah kuyup.
"Kau kehujanan?"
Sontak aku terkejut mendengar suara seorang gadis yang muncul disampingku.
Berbeda denganku, seragamnya masih kering, mungkin hanya basah sedikit.Gadis itu merogoh sakunya, memberikan sapu tangannya padaku.
"Pakai ini untuk mengeringkan wajahmu."
Pikirku ragu, siapa juga orang asing yang mau menolongku?
Irisnya berkedip-kedip, tangannya melambai padaku seraya wajahnya menunjuk rasa khawatir.
"Uhm, halo?"
Pecah lamunanku seketika, menyadari sapu tangan pemberiannya, meraihnya walau agak ragu.
"T-terima.. kasih?"
Gadis itu tersenyum, surai pirangnya tersibak kesamping sedikit.
Kain sapu tangan miliknya kuusapkan ke wajahku yang basah kuyup.
Setelah mengeringkan wajah, barulah rasa bersalah muncul karena aku sudah membasahkan sapu tangannya."Maaf! Aku akan mengembalikannya padamu besok."
Gadis itu terkekeh.
"Tidak perlu buru-buru. Oh ya, namamu siapa?"
Nama?
Serius dia ingin berkenalan denganku?
Wajahnya meyakinkan sih, mungkin tak apa.Bibirku terbuka pelan, mengucap nama lengkapku padanya.
"Namaku Emma Sano, salam kenal ya!"
Matanya mengedip, berusaha menjadi seramah mungkin padaku.
Entah kenapa aku seperti baru saja dikenalkan dengan malaikat bumi.
Ah, lupakan, aku masih straight tau!"Hujannya deras sekali, bisa gawat kalau banjir."
Wajahnya menatap kearah langit kelabu.
Air hujan yang jatuh terus mengguyur bahkan semakin deras.Lirikku masih tertuju padanya.
"Kau tidak bawa payung?"
Mulutku akhirnya mulai berbicara dulu.
Gadis pirang itu menggeleng."Sebelumnya aku sudah diperingatkan untuk membawa payung sih, tapi aku percaya hari ini cerah."
Ah, tidak mengiranya sama sepertiku.
Tatapku kini tertuju pada langit kelabu sepertinya."Sepertinya tak akan lama. Ada yang bilang kalau mendung gelap di sore hari cepat berakhir. Kau tak perlu khawatir, sano-san."
"Emma saja!"
"Eh? Uh, baiklah, Emma."
Emma tersenyum padaku sekali lagi.
"Kalau kau bilang begitu, aku percaya."
"Serius?! Percaya dengan orang asing begitu saja?"
Mulutku bungkam saat dirinya menatapku yang keceplosan.
"Mou, kita memang belum saling kenal. Tapi setidaknya aku percaya kau bukan orang aneh. Iya kan, (y/n)?"
Pipiku bisa saja bersemu hanya karena dirinya mempercayaiku.
Kami berdua terjebak dalam sunyi selang beberapa menit.
Benar saja, tak lama hujan menghilang.
Hanya bersisa langit gelap penanda petang berlalu."Hujannya sudah berhenti. Aku harus segera pulang. Dadah (y/n)!"
Dia pergi begitu saja sebelum sempat aku bertanya dimana alamat ataupun sekolahnya.
Hah, (y/n) bodoh, lalu gimana kau akan mengembalikannya nanti?
Langkahku kembali berjalan menuju jalan pulang.
Sekelibat scene barusan terlintas di kepalaku, menyulut rasa malu dan senang yang bercampur aduk.Seseorang baru saja berkenalan denganku!
Secarik senyum tampak, menandakan moodku sudah membaik.
Kala berjalan senang menuju rumah, ponselku berdering.
Siapa memang yang memanggilku jam segini?
Apa jangan-jangan papa mama sudah ada di rumah dan mengkhawatirkanku?Langsung saja kurogoh barang elektronik itu, menampakkan layarnya yang menyebut nomer tak dikenal.
"Ini siapa?"
Tanda tanya berputar di kepala.
Jari ragu ingin mengangkat atau tidak."Mungkin, mungkin saja nomer papa mama ganti!"
Aku mengangkat angkatan itu tanpa berpikir panjang lagi.
"Kau mengenal gadis itu juga rupanya."
Lensaku melebar mendengar suara yang tak kukenal, tapi bisa kutebak seorang wanita dewasa.
"Halo, ini siap-"
"Gadis itu akan meninggal."
××××××
Prolog end
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Number From The Future (Izana x Reader) || Tokyo revenger Fanfiction
Fanfiction#2 in #tokyorevenger : 26/08/21 #1 in #izanakurokawa : 26/08/21 ---------------------------- Nomer begitu asing muncul di layar handphone. Siapa yang menelfon? pikirku. Tanpa berpikir panjang jariku menekan tombol 'angkat'. Mendekatkan layar handpho...