- 10 -

501 106 6
                                    

Pagi.
Dimana semua aktivitas hari dimulai saat ini.

Katup yang terbuka setelah nyenyak tertidur, menyadari sesuatu yang berubah dari tempatnya.

"Lho? Selimut?"

Selimut yang selaras dengan warna kasur terbentang diatas tubuhku.

"Kemarin juga... Bukannya aku tertidur disini?"

Lensaku tertuju pada tepi kasur.
Mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi dan sesudahnya.

"..papa.."

Hanya seorang saja yang bisa mengangkatku kembali ke kasur.
Orang yang kemarin begitu kubenci hanya karena keputusannya tak sesuai dengan keinginanku.

Tubuhku langsung saja bangkit dari kasur. Menendang selimut dan bergerak cepat ke lantai satu.

"Papa!"

"Hm? Ada apa, sayang?"

Hanya mama yang ada disana.
Pandangan kuedarkan pada sekitar.

"Papa dimana?!"

Mama menatapku sebelum akhirnya kembali fokus ke masakannya.

"Dia pergi bekerja lebih dulu. Oh ya, dia juga meninggalkan sesuatu diatas meja makan untukmu."

Aku berjalan kearah meja.
Melihat sesuatu seperti dua bungkus permen diatas kertas.

Maafkan papa kemarin.
Kau boleh menemuinya, tapi berhati-hatilah.

Lensaku menghangat, air mata tak lama menggenang dan jatuh dari sana.

Mama hanya melirik kearahku dalam diam. Tau jelas apa yang terjadi sebenarnya dan memilih agar semua berjalan seperti yang seharusnya.

Dua permen diatas kertas kuterima, kertas tulisannya kudekatkan pada dada.

"Terimakasih.. Papa.."

Senyumku tak lama tumbuh.
Aku berlari menghadap mama untuk menerima sarapan darinya.

Hanya dua orang yang memenuhi ruang itu. Seorang lagi bekerja demi menafkahi keluarga, tak pernah lelah berjuang untuk orang tercinta.

Nuansa hangat penuh rasa kekeluargaan.
Aku sudah merasakannya sedari dulu.
Itulah kenapa, aku ingin Izana merasakan hal yang sama.

Secara bersamaan, rasa semangatku untuk terus berkembang dalam berbagai bidang yang diajarkan sensei semakin menampakkan raganya.

Aku ingin dia tetap hidup.

Aku ingin dia terus berada disana.

Aku ingin dia bahagia.

Tiga kalimat penyemangat kubawa pergi bersama kaki yang berlari.
Kembali menuju bangunan tempatku menimba ilmu pengetahuan setelah sehari tak tampak disana.

Seperti biasa, setiap kaki menginjak lantai kelas, Hina menyapa bahkan merangkulku.
Rasa hangat yang kurasakan selama ini.
Entah dari keluarga ataupun teman dekat, atau dari siapapun.
Apa aku bisa membagikan sebagian dengannya suatu hari nanti?

××××××

"Benar begitu. Tak perlu takut, kau melakukannya dengan benar."

Bimbingan sensei menuntunku perlahan, menyempurnakan teori ataupun praktek yang di ajarkannya untuk menghadapi masa mendatang.

"Nee, sensei."

Sensei terdiam, mendengarku.

"Apa aku bisa menyelamatkan Izana?"

Unknown Number From The Future (Izana x Reader) || Tokyo revenger FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang