Miran's pov
Malam ini waktunya, aku sudah siap dengan menggunakan pakaian pilihan ibu. Sejujurnya aku sangat suka—well, meskipun gaunnya teramat ketat dan mungkin tidak terlalu sesuai dengan ekspetasiku ketika memakainya. Gaun merah yang seksi nan menjalar hingga ke kakiku ini menyisakan sebuah robekan di paha kiri sebagai modelnya. Seharusnya ini digunakan untuk wanita dengan tubuh yang molek atau mungkin seperti Gigi Hadid.
Ketika sampai di Hotel bintang lima tersebut, aku mengambil alih untuk mendorong kursi roda yang Miyoung gunakan. Hingga akhirnya kami sampai di depan pintu besar yang benar-benar terlihat elegan dan mewah, pelayan yang berjaga membukakan pintu itu dengan hormat—hingga akhirnya aku bisa melihat perawakan sepasang suami istri di meja bundar tersebut dengan seorang gadis di samping mereka.
Air muka ku tak dapat berbohong, aku menganga dengan lidah kelu selagi mendorong kursi roda yang Miyoung kenakan hingga memasuki ruangan yang lumayan luas tersebut. "A-ayah, I-I-Ibu, k-kalian menjodohkan kakak dengan seorang gadis?!" tanyaku dengan gamblang dan lumayan memekik. Apa ini alasan ibu bermuka masam sedari pagi?
Semua orang terdiam, kecuali ayah yang menoleh ke belakang dengan tatapan tajam. Dia menghampiriku lalu berbisik, "Berhenti berbicara omong kosong. Sudah ayah katakan jaga sikapmu, jangan membuat onar," kecamnya dengan gigi yang menggertak satu sama lain.
Aku bernapas lega mendengarkan penuturan pertama ayah, setidaknya aku tahu mereka masih waras meskipun gila akan harta dan perbisnisan. "Lalu siapa yang akan dijodohkan dengan kakakku?" tanyaku lagi.
Wanita yang terlihat seumuran dengan ibuku tertawa ringan, "Dia sedang ke kamar kecil, Nak. Omong-omong, kau menggemaskan sekali."
Aku mengangguk-angguk dengan kikuk, malu karena mengira gadis tersebut adalah orang yang akan dijodohkan dengan kakakku. Ketika netraku menatap rupa sang gadis—otakku bekerja begitu cepat saat itu juga, berjalan mengitari stasiun memori yang pernah aku hinggapi sebelumnya.
"Kak Miran, kau masih mengingatku?" interupsinya yang sepertinya tahu kalau aku sedang mencoba mengenali dirinya. Aku mengulum bibirku sembari sedikit menyipitkan mataku ke arahnya. Lalu tiba-tiba saja kereta yang dinaiki oleh otakku berhenti di sebuah stasiun, membuatku menganga karena menyadari siapa gadis itu.
"Kau—"
"Maaf kalau aku membuat kalian menunggu, apa aku terlambat?"
Ucapanku dipotong seseorang, dan detik itu pula aku menegang lantaran mengenali dengan jelas siapa pemilik suara itu. Dan sialnya dia berkata tepat di belakangku, membuatku semakin menegang membayangkan betapa dekatnya jarak kami. Aku bahkan bisa merasakan aroma parfumnya yang menyerbak ke hidungku.
Pria setengah baya itu beranjak bangun, melenggang menuju ke arah kami dan berakhir dengan menepuk-nepuk bahu Jimin. "Kau lihat? Ini putraku, dia tampan dan gagah seperti yang aku katakan, bukan?" ucapnya dilontarkan dengan nada jenaka.
"Selamat malam, Paman." Aku dengar Jimin menyapa ayahku, ia juga membungkuk hormat, gaya hormat khas Korea. Aku bisa merasakannya meskipun tanpa melihat.
"Kenapa kalian masih berdiri? Ayo duduk saja, kita akan melangsungkan perjodohan, bukannya menyaksikan pertandingan sepak bola," kata Jimin dengan nadanya yang ramah, sementara tanganku mengepal erat pada genggaman pendorong kursi roda mengingat perbuatan bejatnya terakhir kali. Benar-benar seperti lelucon, sepuluh hari sebelumnya kami memutuskan hubungan akibat pengkhianatan, lalu kini berani-beraninya dia ingin menikahi Kakakku padahal sudah jelas dia bermain wanita kala itu.
Kami semua duduk, aku di samping Soojin—adik Jimin yang berpura-pura menjadi kekasih Jimin di mall kala itu. Sedangkan di sampingku adalah ibuku, lalu selanjutnya ayahku, dan selanjutnya adalah Miyoung yang berada di samping Jimin. Kami semua duduk mengitari meja bundar yang dipesan. Sebagai hidangan awal, seorang pramusaji memberikan kami white wine dengan kualitas terbagus. Ia memasukkan wine tersebut ke dalam gelas sampanye khusus untuk wine ini.
Aku meneguknya langsung karena berapi-api, meskipun aku berusaha baik-baik saja, hati kecil di dalam diriku menolak semua itu. Aku masih tahapan melepas hatiku, ini masih sulit, hatiku sakit. Aku hancur, hatiku benar-benar teriris rasanya ya ampun. Namun aku mencoba bersikap tenang, aku takkan membiarkan Jimin menang dengan membiarkannya melihat sisi lemahku.
Atensiku tak sengaja menatap matanya, dia menyeringai di seberang sana. Ya, kami terpisahkan oleh meja, namun masih berhadapan satu sama lain. Tangannya merembet ke kursi roda yang kakakku kenakan, menggenggam bahu kirinya sembari mengelusnya. Aku ikutan melayangkan tatapan mematikan, namun tidak begitu kentara. Lalu memalingkan wajahku ke arah lain dengan alami ketika Soojin memanggilku.
"Ya, Soojin?"
"Kakak terlihat sangat cocok dengan gaun ini, kau benar-benar menawan kak."
Aku tersenyum tipis, sebenarnya canggung sekali dipuji begitu. "Terima kasih, kau juga tampak menawan dengan mini dress itu. Kau terlihat nakal dan menggemaskan dalam waktu bersamaan."
"Oh ya, Kak! Apa Kakak suka berbelanja? Seperti belanja tas, ataupun pakain, mungkin?"
Mataku langsung berbinar kala itu juga, aku suka pembahasan ini, "Tentu saja! Aku sangat suka berbelanja! Tetapi aku tidak suka membayarnya," ujarku sembari diselipi tawaan di akhir kalimat. Perlahan-lahan aku mulai melupakan kalau ini adalah acara perjodohan, bukan makan malam biasa.
"Woaw! Kita punya kesamaan! Akhir pekan kakak ada waktu tidak? Aku ingin mengajakmu berbelanja, aku rasa itu akan menyenangkan! Nanti aku ajak teman lelaki ku untuk membayarnya, dia masih single, by the way." Soojin mengerlingkan matanya setelah melontarkan kalimat terakhir, lalu kami tertawa kecil bersama-sama.
Kami berdua benar-benar larut ke dalam perbincangan dengan sangat antusias sembari menunggu pesanan datang, mereka sengaja mengungkapkan perjodohannya di akhir acara lantaran membiarkan Jimin dan Miyoung saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu, lalu mereka bisa memutuskan keputusan mereka di akhir nanti.
Aku mengambil gelas sampanye yang berisi white wine di dalamnya, lalu menyesapnya dengan perlahan. Namun tiba-tiba saja aku memekik, lantaran ibu jari kaki Jimin yang sepertinya sengaja menyentuh kakiku dengan perlahan.
"Ada apa, Miran?" tanya ibuku.
Aku bisa melihat dia tertawa kecil sembari melemparkan seringaian.
"A-a-ah tidak, a-aku anaknya gampang terkejut. Aku kira kaki ibuku adalah kecoa yang tersampir di kakiku," kataku kikuk sembari cengengesan sendiri.
"Ah baiklah, aku kira kau kenapa-kenapa," timpal ibu Jimin dengan air muka terlihat leganya.
"Yah Kak Miran, lihat, gaunmu terkena air wine." Soojin menimpali sembari menunujuk ke bagian gaun yang mulai terlihat kegelapan sebab tersiram air.
"Tidak masalah, aku akan membersihkannya di toilet. Aku izin undur diri dulu kalau begitu," ucapku hormat sebelum beringsut hati-hati karena high heels yang aku kenakan lumayan tinggi, dan aku tidak terlalu terbiasa mengenakan yang setinggi ini. Belum lagi karena balutan gaun yang sedikit ketat ini, untungnya ada sayatan yang memudahkanku melangkah di balik balutan kain merah ketat ini.
Ketika aku hampir menyentuh kenop toilet, seseorang tiba-tiba saja mendorongku masuk ke dalam dan membekap mulutku lembut sembari menyenderkan tubuhku ke pintu toilet. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jimin?
"Aku merindukanmu." []
komen kalian sangat berarti buatku ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
FanfictionSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...