Malam telah berganti pagi, mentari belum menampakkan sosoknya sedari tadi—tentu saja, ini masih jam empat pagi. Dan Jimin sudah berada di balkon apartemennya sembari menikmati secangkir teh hangat yang ia buat beberapa menit lalu. Kalau dilihat dari persiapannya, sepertinya Jimin sudah merencanakan semua ini dengan matang.
Ia mondar-mandir sedari tadi sembari terus menempelkan ponsel di rungunya, Z Flip terbaru keluaran samsung itu terus mengeluarkan bunyi perangkat seberang yang tersambung, namun sang empu tak kunjung mengangkatnya. Kalau kalian mengira dia romantis karena menelepon Miran lantaran merindukan sang gadis—maka kalian salah besar, buktinya figur itu tengah tertidur lelap di ranjang Jimin dan masih terbalutkan dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Tunggu, jangan salah paham. Tak terjadi apapun tadi malam selain adegan peluk-memeluk saja.
Tak lama kemudian terdengar suara seperti tanda bahwa sambungannya tersambung. Bak seorang pencuri yang takut tertangkap basah, Jimin menoleh ke belakang—memastikan pintu balkonnya telah tertutup rapat dan gadisnya benar-benar tertidur dengan lelap.
"Park Jimin, bagaimana? Kau berhasil?"
Suara Wakil Direktur agensinya itu terdengar dari seberang dengan nada penasarannya, tentu saja, ia sudah menanyakan ini sedari kemarin siang—namun Jimin baru sempat memiliki waktu yang terbilang 'aman' hanya saat ini.
Jimin terkekeh, mendudukkan bokongnya pada sebuah sofa balkon yang sengaja ia letakkan di luar. "Tentu saja, kehancurannya semakin dekat." lalu Jimin memilih duduk bersantai sembari menyeruput tehnya secara perlahan, seolah menikmati waktu yang mungkin akan menghancurkan seseorang.
★ ✰
Miran merasakan sebuah tusukan pancaran mentari yang memasuki matanya, silau, membuatnya terpaksa harus bangun dari tidurnya yang benar-benar nyenyak dan lelap. Ia tidak tahu mengapa tirai balkonnya bisa terbuka—atau mungkin Jimin memang sudah bangun?
Miran yang teringat pada Jimin langsung menoleh sekaligus merubah posisinya menghadap ke belakang, menemukan presensi Jimin yang tak mengenakan atasan dan hanya terbalutkan dengan selimut putih yang mereka gunakan bersama-sama.
Matanya masih memejam, napasnya masih stabil, menandakan tidurnya sangat nyenyak, apalagi ditambah dengkuran samar nan lembut dan kecil. Miran tersenyum, Jimin memang benar-benar anugerah dari Tuhan, wajahnya yang sangat soft dengan campuran perilaku yang lembut bercampur manis bak permen kapas. Ia yakin Tuhan pasti sedang bahagia ketika menciptakan Jimin.
"Ngghh...." Jimin tiba-tiba saja mengerang parau. Tangannya yang sedari awal sudah bertengger di pinggang Miran mulai menarik tubuh ramping itu ke dalam dekapannya. Semakin mengencangkan dekapannya sembari mencari posisi yang nyaman untuk menghangatkan badan. "Dingin..."
Miran terkekeh kecil, "Siapa suruh tidur dengan keadaan seperti itu? Musim gugur telah dimulai. Sebagian udara rata-rata terasa lebih dingin dari biasanya."
"Jangan memarahiku..." kata Jimin dengan suara paraunya, masih tak ingin diganggu juga, jadi dia memilih terus memejam dan akan menyambung tidurnya.
"Ya sudah, aku akan mengambilkanmu kaus dan selimut tam—"
Baru saja Miran beranjak duduk—tiba-tiba saja Jimin menarik tangannya, sehingga membuatnya terbaring kembali. Secara cepat, Jimin membuka dua kancing teratas piyama yang Miran kenakan lalu menarik sisi kiri bajunya agar melorot ke bawah dan menyisipkan wajahnya di pertengahan leher dan bahu Miran. "Begini lebih hangat..." kata Jimin diiringi tawa paraunya dan mencium pipi gadis itu sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
Fiksi PenggemarSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...