19. Strange Feeling

489 78 23
                                    

Setelah malam itu, semuanya menjadi kacau. Ibu mengurung diri karena terpuruk, begitu pula dengan Miyoung yang kehilangan selera makan, Miran yang menangis terus dan menjadi lebih pendiam dan menutup diri—jiwanya seperti terguncang, namun ia rasa tidak, karena ia masih sadar dan merasa masih waras sepenuhnya. Ia hanya syok sesaat.

Keesokan harinya, hasil pemeriksaan telah keluar. Miran dipanggil oleh Wang Chaejung—direktur di mana agensi yang benar-benar ia naungi. Iya, ia dan Junghee hanya mata-mata di dalam agensi Ned,identitasnya juga palsu, ia masih menjadi warga negara Korea.

Ned sudah ditangkap duluan sebelum ayahnya. Miran bersumpah ia tidak pernah membantu ayahnya dalam menutupi identitasnya agar tidak terlacak—nyatanya Ned sendiri yang turun tangan untuk membantu sang ayah. Miran mengetahui kalo Ned membantu ayahnya belum lama, ia hanya memilah waktu yang tepat untuk membocorkan rahasia ini.

Ketika Jimin menghinanya—Miran memaksa dirinya diam, karena itu memang aturannya. Ia sedang menjadi secret agent untuk sementara waktu. Ia tidak bisa membeberkan identitasnya ketika sedang beroperasi, Miran sendiri belum tahu siapa Jimin sebenarnya.

"Tuan Wang, maaf karena aku terlambat untuk datang." Miran membungkuk sebentar sebagai salam sapaan kepada seorang pria yang mengenakan setelan formal berjas biru tersebut.

Chaejung terkekeh, "Tidak masalah, ini bukan sesuatu yang benar-benar urgent. Ini memang penting, namun terkesan santai."

Meskipun sudah tak membungkuk, Miran tetap menunduk, menyembunyikan mata sembab dan wajah bengkaknya. Ia memang sempat mengoleskan beberapa polesan natural di wajah, namun ia tetap harus mengantisipasi.

"Aku datang, Tuan Hyun."

Bulu roma Miran menegak di kala mendengar suara familier yang sering ia dengar sebelum-sebelumnya. Ia meneguk salivanya, berusaha bersikap tenang dan biasa saja. Ia menunduk hormat sebagai salam sapaan kepada Jimin yang baru saja datang. Netra keduanya sempat berpapasan satu sama lain—namun dengan segera Miran mengalihkannya ke arah lain.

"Kwanghoon-ah, perkenalkan, dia Kwon Miran. Kami memanggilnya Alys, artinya mulia. Itu terinspirasi dari ketangguhan hatinya hidup di keluarga yang tak harmonis. Sekaligus menjadi nama samaran ketika bertugas. Dia murid favoritku, kau bisa lihat sendiri bagaimana dia menyatukan Inggris dengan Korea karena berhasil menemukan pemberontak yang terbilang sangat picik beberapa tahun belakangan ini." Chaejung memuji dengan sangat percaya diri, dia bahkan sampai melebarkan kedua tangannya menunjuk ke arah Miran. Lalu dia terkekeh dengan ramah sebagai penekanan kalau pembicaraan ini tak seserius itu.

Dapat Miran tebak kalau mereka adalah teman dekat yang sempat Chaejung katakan kepadanya. Namanya Hyun Kwanghoon—kerabat direktur agensinya. Miran tersenyum tipis, membungkuk sekilas sekali lagi, "Aku akan berusaha yang terbaik." lalu menyisir anak rambutnya ke samping, mencoba melirik sosok Jimin yang ada di hadapannya.

Ingin tahu bagaimana kesan Jimin terhadap fakta ini, karena selama ini Jimin hanya mengetahui kebohongan yang dianggap sebagai fakta. Ia hanya tahu kalau Miran pengkhianat, dan ia hanya tahu kalau Miran adalah anak kandung dari Beomseok dan Sunhee. Dapat Miran tebak pria itu menegang, ada pancaran aneh di dalam matanya yang tak bisa Miran artikan. Jimin sulit ditebak.

Kwanghoon menyapa Miran dengan senyuman, lalu merangkul pundak Jimin dan menepuk-nepuknya bangga, "Kalau ini murid kebanggaanku. Dia yang paling cekatan, kreatif, inovatif dalam memecahkan masalah. Hanya saja kali ini dia kalah cepat darimu," katanya sembari menyelipkan sebuah tawaan renyah. Meksi berkata demikian, pria itu menepuk-nepuk pundak Jimin menandakan ia tetap bangga meskipun Jimin kalah cepat.

"Kenapa kita harus berdiri di sini? Aku sudah siapkan meja makan untuk kita. Ayo kita ke sana, aku sudah lapar," ujar Chaejung sembari menuntun sahabatnya, Miran dan Jimin ke meja persegi panjang yang tak begitu panjang tersebut dengan hiasan yang elegan.

★ ✰

"Aku pamit dulu, Tuan Wang, Tuan Hyun, Tuan Park. Terima kasih atas jamuannya."

Akhirnya Miran mengucapkan itu juga, sedari tadi ia sangat ingin menyudahi jamuan ini karena merasa risi dengan keberadaan Jimin. Terlebih tatapannya begitu membawa tanda tanya besar di dalam benak Miran.

"Baiklah, hati-hati, Nona Kwon. Sampai jumpa di Korea nanti, kalian akan dipulangkan ke Korea karena tugas kalian telah selesai," tukas Kwanghoon sembari mengelap bibirnya dengan sapu tangan pribadi miliknya.

Miran hanya mengangguk hormat, lalu membungkuk sekali lagi sebelum beranjak melenggang meninggalkan meja makan.

"Aku akan mengantarmu." langkah Miran terhenti, jelas itu ucapan dari bibir Jimin. Pria itu buru-buru mengusak bibirnya dengan sapu tangan dan beranjak dari kursi makannya.

Dalam hati Miran sudah menyumpah seraphi lelaki itu, namun di luarnya ia hanya menatap Jimin dengan tatapan datar. "Maafkan aku, Tuan Park. Tetapi temanku sudah menjemputku, dia sudah menunggu di bawah. Aku minta maaf sekali lagi." Miran menolaknya dengan sehalus mungkin, tidak ingin meledak karena menatap tampang tampan Jimin yang membuat Miran ingin menamparnya. Entah apa siasatnya lagi meskipun sudah tahu kalau Miran bukan anak kandung Beomseok.

Cepat-cepat Miran melangkahkan kakinya untuk melenggang pergi dari sini, memasuki lift kosong dan menekan tombol lantainya. Dan ketika pintunya akan tertutup—presensi Jimin tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah pintu yang akan menutup tersebut. "Huft, tepat waktu." lelaki itu menghela napas, melangkahkan kakinya masuk ke dalam bilik sempit di dalam lift ini.

Canggung, itu yang dirasakan Jimin selama di dalam lift. Hanya berdua, tanpa percakapan, dan saling menyimpan argumen satu sama lain. Jimin tak tahan, ini benar-benar membuatnya gila hingga akhirnya ia membuka suara, "Tuan Park. Kau memanggilku begitu, terasa asing sekali."

Hening, Miran tak menjawab maupun berkutik. Gadis itu hanya diam menatap pantulan dirinya pada alumunium lift di hadapannya. Miran sama sekali tak merasakan kecanggungan, hati berdebar maupun sakit hati. Lebih tepatnya ia seperti lelah, mungkin karena menangis semalaman. Ia jadi mati rasa untuk sesaat.

"Kau marah padaku?" akhirnya Jimin langsung menanyakan apa yang tersarang di dalam benaknya.

Miran tak menjawab apapun, dia masih tetap diam bak patung yang terpajang di dalam lift. Mengabaikan kenyataan kalau ada orang di sampingnya.

Jimin berdeham, merasa malu akibat dia tidak mendapatkan feedback dari Miran. Namun rupanya pria itu tak menyerah, entah apa niatnya, Miran benar-benar malas meladeni. "Kau ingin kuantar pulang? Kau berbohong kan soal temanmu?"

Lalu pintu lift terbuka, Miran segera keluar dan mengabaikan pertanyaan itu. Jimin mengikutinya, namun Miran tetap mengabaikannya.

"Jeon Jungkook!" Miran memekik, hatinya terasa sedikit lega ketika mendapati presensi Jungkook yang tengah bersender di mobil sembari menggenggam ponselnya dengan headphone yang menempel di lehernya.

Jimin berhenti, itulah yang Miran inginkan. Ia lega kendati Jimin tak mengikutinya lagi di kala Miran berlarian menyebrangi jalan untuk menghampiri Jungkook. Lelaki itu tersenyum simpul, menyampirkan sebuah jaket tipis untuk dikenakan di bahu Miran yang sedikit terekpos.

Pancaran raut bahagia dari Miran ketika berceloteh kepada Jungkook membuat sebuah gejolak aneh merasuki jiwa serta raga Jimin, tangannya mengepal tak suka. Jadi, apakah begini akhirnya? []


dasar labil.

STARTED BY MISTAKE | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang