hope you enjoy it ♡
Sedari kecil Park Jimin sudah memiliki tekanan batin sendiri. Terlahir dari keluarga yang memiliki kekayaan bukan main—saham di mana-mana, emas seperti tertanam di lahan mereka, harta yang melimpah dan bisa memperkaya tujuh turunan bahkan bisa jadi lebih. Tetapi ternyata hidup memang tak bisa berjalan lancar semudah itu—tak semudah yang orang bayangkan mengenai hidup indah di dalam posisinya. Sebenarnya tidak se-enteng itu.
Mereka menganggap di dalam keluarga Jimin tercipta sebuah keharmonisan tanpa garis pembatas. Bodoh memang, tetapi itu memang hanya pencitraan semata. Nyatanya perlombaan akan siapa yang tertinggi dalam faktor nilai maupun kekuasaan jauh lebih genting ketimbang menukar kasih sayang dan kehangatan. Ada benci, dendam, rasa iri dengki yang tercipta di masing individu di keluarganya. Orang dewasa berlomba akan kekuasaan, sedangkan anak mereka dipaksa menjadi robot belajar yang tak ada hentinya.
Jimin memang sudah pintar sedari lahir—itu keturunan genetik, ditambah dia siswa yang berprestasi di bidang bela diri—namun itu hasil kerja kerasnya sendiri. Jimin akui ia lebih menyukai bela diri ketimbang menghitung angka untuk olimpiade matematika dan menghapalkan organ tubuh manusia untuk ipa. Sayangnya hanya orangtuanya saja yang mendukung, pihak nenek begitu keras menentang hal itu.
Jimin tadinya ingin menentang dan memilih jalan hidupnya sendiri—karena ini adalah hidupnya. Namun melihat ayah yang selalu dihina akibat ketertarikan Jimin yang melenceng dari usaha keluarga; seperti pebisnis dan juga dokter, Jimin jadi tak tega dan memilih memaksakan dirinya sendiri. Dan Jimin tahu, itu sebuah kesalahan yang besar.
Intinya pilihlah sesuatu dengan pilihanmu sendiri, pilihan kata hatimu, karena kalau tidak—kau akan menyesal selama-lamanya.
Masa kecilnya yang keras membuat Jimin tertekan di pertengahan jalan, tentu saja karena itu bukan passion-nya untuk berjalan di bidang kedokteran. Ia hanya menjalankan itu karena paksaan yang menghantam dadanya, ia tidak ikhlas menjalani itu semua—bagaimana ia bisa menjalaninya dengan tenang.
Jimin sering berpikir, kalau ia terus-terusan begini apakah ia bisa bahagia? Kalaupun ia menjadi dokter, akankah ia menjadi dokter yang mampu membantu pasiennya dengan sukarela? Akankah Jimin bisa melalui sisa hidupnya secara tenang? Apakah ia takkan tertekan lagi kalau bisa menjadi dokter?
Ketimbang takut ia tak mampu, Jimin lebih takut akan pasien yang akan dia hadapi. Ia takut tak bisa menolong pasien karena tekanan dari dalam dirinya, semuanya berantakan karena paksaan. Ia takut malah akan menyakiti hati pasien. Dokter itu pekerjaan yang mulia dan tulus, namun bagaimana bisa Jimin menjalani ini semua dengan tidak tulus?
Jimin pernah bertanya kepada dirinya sendiri untuk memilih sebuah opsi dari dua pilihan.
Yang pertama, kalau ingin tetap berada di bidang ini—maka kau harus mencintai bidangmu terlebih dahulu, lalu mencintai pekerjaannya dan jangan pikirkan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
FanficSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...