21. A Decision

495 82 18
                                    

Jimin terbangun ketika sinar mentari menyeruak memasuki pupilnya, mendobrak pelipis mata hingga membuat tidurnya tidak nyaman karena silau. Ia masih terbalutkan oleh sebuah sweater berwarna hitam yang ia kenakan kemarin.

Ketika terbangun, wajahnya otomatis menoleh ke kursi penumpang di sebelahnya-harusnya Miran ada di sana, namun nyatanya kosong. Jimin tak melihat presensi gadis itu di sampingnya, ia mengira; mungkin saja Miran sedang pergi ke toilet atau mungkin mencari udara segar maupun makanan untuk dijadikan bahan sarapan.

Alhasil Jimin tak begitu cemas dan memilih menunggu di dalam mobil sembari mengorek camilan ringan yang sempat mereka beli di minimarket pinggir jalan, sembari menyetel lagu jazz ballad sebagai temannya. Namun lima belas menit telah berlalu, gadis itu tak kunjung datang. Rasa cemas mulai menggerogoti jiwa Jimin, ia sudah berjanji kepada Miyoung untuk menjaga Miran.

Jimin tak terpikir kalau Miran melarikan diri, fokusnya tertuju pada penculikan. Ia takut Miran diculik. Mungkin saja ketika gadis itu ke toilet atau pergi ke warung-tiba-tiba saja ada perampok yang menodongnya dengan senjata tajam. Jimin tahu identitas asli Miran yang sebenarnya bisa berkelahi, namun tetap saja ia harus berjaga-jaga, bukan?

Jimin memilih keluar dari dalam mobil, ternyata panorama pantai di pagi hari tak begitu buruk juga. Akan lebih bagus kalau ia bangun lebih awal, ia pasti akan dapat menyaksikan peristiwa sunrise dengan kedua mata kepalanya sendiri. Dersik angin menerpa sekujur tubuhnya, Jimin mendelik ke sana dan ke mari, ada beberapa warung yang sudah buka-meskipun agak jauh letaknya-karena ia memarkirkan mobilnya di spot yang tak terlalu ramai.

Jimin bertemu dengan seekor kucing calico berwarna oranye yang sedang bermain sendirian dengan rumput laut di kakinya. Jimin menghampiri kucing itu, bermain dengannya sebentar, lalu menyadari bahwa ini benar-benar sudah sangat lama. Jimin memutuskan merogoh sakunya, mendapati benda pipih itu dan langsung mencari kontak Miran dan menekan ikon telepon di bawahnya.

Dahinya mengkerut di kala suara operator menyapa rungunya, teleponnya tak diangkat. Namun rasa cemas Jimin semakin membara, ia terus menekan ikon tersebut, namun nihil, hanya ada suara operator yang menyambutnya secara berulangkali. Ia juga meninggalkan pesan suara atas perintah operator, namun belum ada miss-call dari sang empu.

"Sial, dia ke mana?!" Jimin berdecak, mengusak wajahnya frustasi. Ia berusaha tetap tenang dengan menghampiri penjual makanan dan minuman yang masih mempersiapkan tokonya untuk dibuka, namun nyatanya tak membuahi hasil. Jimin tak mendapatkan informasi apapun.

Ia kembali masuk ke dalam mobil untuk menenangkan pikirannya, mencoba menelepon lagi-namun nyatanya daya baterainya hampir habis, ia mencondongkan tubuhnya ke sebelah kanan-kursi penumpang, menarik laci yang ada di sana untuk mencari charger pada awalnya. Namun-terhenti karena melihat sesuatu yang asing di dalam sana. Jimin tak pernah meletakkan material itu.

Dengan inisiatif sendiri, Jimin mengambil dua benda asing tersebut. Melupakan niatnya untuk mengisi daya ponselnya. "Surat apa ini?" entah mengapa perasaan Jimin campur aduk ketika melihat tampang suratnya saja, ia merasakan atmosfer abstrak yang mulai memasuki mobil.

Aku akan pergi dari hidupmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu takut aku merebut posisi Baram dari hatimu. Kita tidak akan bertemu lagi, tenang saja. Semalam itu adalah akhir dari segalanya.

Meskipun pertemuan kita membawa petaka, aku tetap berterima kasih kepadamu karena telah memberikan waktu dan kehangatanmu meskipun hanya pura-pura. Tetapi sesungguhnya, aku merasakan kehangatanmu sangatlah besar dan berpengaruh di dalam hidupku—bahkan melebihi orangtua tiri-ku. Sangat besar melebihi bumi ini.

Tapi aku sadar diri, itu tidak mungkin.

Dan, Jimin. Menurutmu hanya Baram yang pantas mencintaimu, kan? Baiklah, akan aku katakan, malam kemarin adalah malam terakhir aku mencintaimu. Menyukai senyummu dan juga merasakan perasaan berbunga-bunga di dalam hatiku.

Aku akan berlabuh jauh.

Pergi dari kehidupanmu dan meninggalkan masa laluku. Kalaupun kita bertemu nantinya, tenang saja, aku akan berpura-pura tidak mengenalimu dan berlari menjauhimu.

Tolong jaga Ibu tiriku dan kakakku. Terima kasih sekali lagi. Selamat tinggal.

— Kwon Miran.

Kini yang tersisa hanyalah Jimin dengan segala kediamannya. Memegang kertas itu tanpa berkutik, membacanya namun tidak merespon. Tidak tahu apa yang terjadi dengan dia, seperti patung manusia. Matanya menunjukkan sorot datar dan dingin, tak ada yang tahu apa makna di balik tatapan itu dan diamnya dia.

Perlahan emosinya meledak, dia merusak kertas itu dengan mengusaknya menjadi gulungan bola dan melemparnya asal ke arah samping. Tatapannya dingin, datar dan tidak menunjukkan raut apapun—atau jangan-jangan dia benar-benar tidak peduli? Atau sekiranya mungkin Jimin telah berubah menjadi apatis?

Jemarinya terjatuh di atas stir mobil, dengan cekatan menyalakan mobil dan melajukannya entah pergi ke mana.

Apa Jimin benar-benar tidak peduli lagi? []

STARTED BY MISTAKE | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang