Happy reading! Terima kasih telah memberikan komentar dan vote ♡
"Jimin! Lepas!" Miran menyentak tangan Jimin ketika mereka sampai di apartemen milik Jimin—ya, Jimin yang membawanya. Bukan Miran yang memohon meminta ke sini. Ia bahkan masih merasakan deja vu akan bayangan buruknya di kala memasuki pintu, tubuhnya bergidik jijik.
"Kenapa kau mengacaukan semuanya?! Bukankah perkataanku sudah jelas? Berhenti menggangguku. Bukankah sudah kukatakan berulang kali, hubungan kita sudah tak lagi sama. Aku calon adik iparmu, dan kau calon kakak iparku, kau milik kakakku." ada perasaan menusuk di kala kalimat terakhirnya ia lontarkan. Dadanya sesak ketika melontarkan semua perkataan itu ketika mengetahui bahwa semua kata-katanya adalah fakta. Jimin bukan miliknya lagi.
"Tidak. Aku tidak bisa melepasmu," ujar Jimin singkat dengan nada dinginnya. Seperti tak tertarik dengan pembahasan kali ini. Dia menarik lengan Miran kembali, kali ini mendekap tubuh gadis itu erat, "Bisakah kita tidak usah membicarakan ini? Aku merindukanmu. Merindukan kita."
Air mata Miran berlinang di dekapan hangat itu, andai saja jalan takdirnya memang dengan Jimin. Miran pasti akan melawan semua rintangan yang menghadang hubungan mereka—meskipun Miran ragu dengan cara Jimin yang satu ini. "Kau tahu Jim, ayahku berselingkuh dengan wanita lain. A-a-aku melihatnya sendiri dan aku masih menyimpannya sendiri tanpa ibuku dan kakakku ketahui. A-a-aku ingin memberitahu mereka, t-t-tapi aku takut. A-a-ayah mengancamku... apa yang harus aku lakukan? Ini sebabnya aku tak menyukai caramu, Jim. Kau mempermainkan hati kakakku, kau membuatku seperti orang ke-tiga, dan aku tidak suka itu. Aku benci selingkuhan.... namun ak-ak-aku masih mencintaimu..." ujar Miran dengan suara lirih dan tubuh gemetaran, kukunya mencengkram pakaian Jimin dan ia membenamkan wajahnya di dada bidang Jimin.
Jimin meraih punggung gadis itu, mengelusnya perlahan. "Kau harus bicara dengan mereka, kau tidak bisa menyembunyikan kebohongan sebesar ini meskipun jumlahnya hanya satu."
"A-Ayah akan semakin membeciku, Jim. Aku tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang darinya lagi, aku takut... bagaimanapun ayah cinta pertamaku meskipun dia tidak pernah memperlihatkan kasih sayangnya padaku. Aku iri ketika melihat Miyoung begitu disayang, aku tidak tahu kesalahan besar apa yang aku perbuat di masa lalu sehingga ayah menjauhiku. Aku tidak suka. Aku tidak suka kehidupan seperti ini, Jim. Aku butuh kasih sayang yang lengkap." tangisan pilu menghujani pipinya, mengalir dengan deras membawa sensasi gemetar di sekujur tubuh Miran.
Jimin menghela napas, menyelundupkan kepalanya di perpotongan leher gadis tersebut. "Ayah adalah cinta pertama bagi seorang gadis, mimpi buruk terbesar bagi seorang gadis adalah kehilangan kasih sayang ayahnya. Begitu bukan? Tapi dia menoreh banyak luka untukmu, apa yang ingin kau lakukan dengan itu?"
Sejenak Miran terdiam, namun masih sesenggukan. "A-aku tidak peduli... aku memungkiri hal itu, aku hanya ingin ayahku kembali. Mungkin aku bisa saja berpura-pura kuat dengan mengatakan tak membutuhkan kasih sayang ayah dan ibuku, namun di dalamku ada yang hancur. Andai ibu menyayangiku dengan kasih sayang yang besar, mungkin aku tidak akan seterpuruk ini. Mungkin aku tidak akan merasa kekurangan kasih sayang."
"Ibu baru memperhatikanku lagi akhir-akhir ini, dimula ketika aku melarikan diri. Aku senang akan hal itu, tetapi aku belum bisa meluluhkan hati ayah lagi..." timpal Miran.
"Kau tidak membenci Miyoung karena telah merenggut orangtuamu?"
Miran menggeleng dalam tangisan yang mulai mereda, "Aku sempat membencinya ketika masih kecil. Kau tahu, aku belum bisa berpikir dewasa. Aku benar-benar membenci Miyoung, namun ujungnya aku yang dibenci orangtuaku. Makanya nenek dan kakek bilang kalau lebih baik aku membuang kebencian itu selagi masih mampu dikendalikan, kalau menunggu nanti—kebencian itu pasti akan semakin bertambah dan sulit dihapuskan. Dan sejujurnya aku merasa lega."
"Karena?"
"Karena mampu mengendalikan kebencianku. Meskipun terkadang iri, namun aku tak ingin menyimpan kebencian itu yang berubah menjadi dendam. Dan aku tidak mau dendam itu menguasai diriku. Aku adalah milik jiwaku, bukan dendam itu. Dan sebenarnya ... Miyoung lebih menyayangiku ketimbang orangtuaku. Makanya aku merasa lega, andaikan aku membencinya, mungkin aku dan dia takkan pernah akur. Dan jika dilihat dari sisi tengah, aku lah yang akan seperti orang jahat."
Jimin tertawa renyah, menangkup kedua pipi Miran dan mengelusnya dengan ibu jari, "Aku tidak tahu kalau kisahmu serumit itu. Tetapi aku bangga kepadamu karena sudah bertahan sampai sekarang. Jangan pernah beranggapan untuk bunuh diri, ya? Meskipun masalahmu serumit apapun itu. Dan—cobalah untuk jujur mengenai masalah ayahmu, kalau semakin dipendam, ibumu akan semakin terbodohi dan tersakiti. Yang paling fatal—dia mungkin akan kembali memebencimu."
Miran mengangguk-angguk dengan bibir mengerecutnya, matanya sembab. "Aku tidak pernah berpikir demikian. Bunuh diri hanya akan memperkeruh keadaan. Dan menurutku hidup adalah sebuah permainan, kalau kau bunuh diri sebelum finish, maka itu dikatakan sebagai game over. Dan aku akan menganggap diriku adalah loser."
Jimin terkekeh, mencubit hidung Miran pelan. "Pintar sekali kekasihku ini," ucapnya.
"Mantan kekasih dan adik ipar," koreksi Miran.
Jimin terkekeh lagi, menarik Miran ke dalam pelukannya, membuat Miran berceloteh lagi. "Lagipula kalau aku bunuh diri—nanti aku tidak tahu sebagus apa barang-barang yang akan dikeluarkan oleh Channel, Guci, Prada, Dior, Louis Vuitton, Zara, Victoria Secret dan semacamnya. Aku tidak mau menjadi roh gentayangan yang iri karena teman-temanku bisa memakai barang dagang terbaru dari perusahaan itu, sedangkan aku sudah tidak bisa memakainya. Jangankan memakai, menyentuhpun sudah tidak bisa. Tembus."
Sontak itu membuat humor Jimin meledak, "Ya baiklah terserahmu. Jangan lupakan nasehatku yang tadi."
Miran berdeham tak jelas sebagai jawabannya, ia juga mengangguk-angguk sebelum merekatkan tangannya pada pinggang ideal milik Jimin.
"Katanya tidak suka jadi selingkuhan, tetapi kok malah memelukku balik?" goda Jimin sembari mengeratkan dekapannya agar Miran tidak memberontak atau meledak setelah ini. Jahil memang.
Alih-alih marah atau mendorong dada Jimin, Miran malah semakin mencari posisi yang nyaman. Mendusel di tengkuk Jimin sembari mengeratkan pelukannya. "Ya memang tidak suka. Namun untuk saat ini aku hanya butuh kehangatan, aku butuh penopang, aku sedang istirahat. Lelah. Dan ini akan jadi yang terakhir kali aku memelukmu, tenang saja, aku jamin itu."
"Hey ... kenapa yang terakhir kali? Tidak, tidak, jangan berhenti memelukku," protes Jimin tidak terima.
"Jimin..."
"Hm?"
"Jangan pernah membenciku, kau orang yang mampu memberikan kehangatan sebesar ini ketimbang orangtuaku."
Namun untuk permintaan yang satu ini, Jimin terdiam. Lidahnya kelu dan tubuhnya menegang. []
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
Fiksi PenggemarSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...