new cover nich guis 🤩
anw, kamu voter ke berapa nih?★ ✰
Hari ke-tiga di rumah sakit, keadaan Miran sudah mulai membaik dan demamnya sedikit turun. Kemarin malam diakhiri dengan keadaan yang tidak baik, semuanya kacau. Tetapi Jimin tetap tinggal di sana, tetap diam namun berpindah tempat ke sofa atas permintaan dari Miran.
"Kata dokter keadaanmu sudah mulai membaik, kau bisa pulang setelah keadaanmu benar-benar membaik."
Lagi, wajah pertama yang gadis itu lihat adalah wajah Jimin—rupa tampan, menawan, dan sempurna yang ia benci tiga tahun terakhir. Miran tidak bisa membayangkan bagaimana caranya dia bisa bertahan selama tiga hari terkurung dengan pria ini. Ini memuakkan, ia ingin cepat-cepat pulang. Ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana ia menjalani detik dan menit berikutnya bersama pria ini.
"Apa aku tidak bisa memiliki meski hanya satu kesempatan saja?" Jimin tiba-tiba bertanya demikian, membuat suasana kembali menjadi canggung dalam seketika.
Miran menghela napas kesal, sudah bosan dengan topik pembicaraan ini. "Jangan membicarakan hal ini, Jim. Kumohon, itu hanya akan merusak mood-ku saja," pinta Miran dengan nada memelas, benar-benar jengah dan bosan dari semalam mereka membicarakan hal yang tak berujung ini, lantaran keputusan Miran selalu sama.
Jimin ikutan menghela napas, mencoba mengerti keadaan dan mengalah, "Baiklah, aku akan diam."
Hingga akhirnya malam kembali menjelang setelah seharian dilewati dengan hari yang canggung, Jimin benar-benar menahan keinginannya untuk membahas hal tersebut. Seharian ini hanya pembahasan basa-basi dan persiapan kepulangan saja karena Miran sudah diperbolehkan untuk pulang besok.
Semalam pun terlewati, tadi malam jarum dan selang yang menghubungkan Miran dengan infusan sudah dilepas, tinggal mengurus beberapa hal lagi yang kini sedang ditanggung oleh Jimin.
Tak lama pria itu kembali setelah mengurus beberapa hal, "Ayo kita keluar dari sini, lalu kau duduk saja di lobby selama aku mengambil mobil, okay?" ucap Jimin sembari berusaha membantu Miran beranjak dari duduknya di atas ranjang.
Gadis itu menepis kedua tangan Jimin yang ada di bahunya pelan, "Terima kasih banyak telah membantuku, Tuan Park, tetapi aku bisa pulang sendiri," tolak gadis itu mentah-mentah lalu melangkah pelan meninggalkan Jimin yang tertinggal di belakang.
Jimin menghela napas, mencoba bersabar dengan tingkah laku Miran—pasalnya kemarahan Miran adalah kemarahan yang wajar, ia bersalah waktu itu, dan Miran masih trauma juga, gadis itu tidak bersalah atas sikapnya saat ini, ini semua terbentuk karena tindakannya yang salah waktu dulu.
"Kau masih dalam masa pemulihan, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian." Jimin bukannya modus atau bagaimana, tetapi dia benar-benar khawatir karena Miran baru saja sembuh dari demamnya.
Miran berdecak, "Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa mengurus diriku sendiri tanpa bantuan siapapun."
Jimin menghela napas yang kesekian kalinya, Kwon Miran tidak pernah berubah, dia masih sama—masih keras kepala seperti dulu, dan bahkan mungkin telah bertambah. Jadi ia memutuskan untuk langsung menggendongnya saja dari belakang dengan menggunakan gaya bridal. "Yak! Lepaskan aku! Yak! Aku akan teriak kalau kau tidak menurunkanku!" ancam gadis itu sembari berusaha melepaskan diri.
Jimin tertawa remeh, "Coba saja, sekalinya kau berteriak aku akan menciummu berkali-kali."
Tidak takut dengan ancaman Jimin, Miran pun berteriak di lorong sepi ini, dan Jimin benar-benar melaksanakan ucapannya. Dia mengecup bibir ranum itu beberapa kali lalu tersenyum penuh kemenangan ketika Miran menjerit kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
Hayran KurguSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...