hari ini aku tepat waktu dong 🤩 happy reading sweetie <3
Semuanya benar-benar menjadi kacau. Terlebih Miran, Ia terpuruk, memikirkan di mana orangtuanya sekarang. Dan Daejung—yang katanya sahabat dari orangtua kandungnya, belum mengirimi Miran pesan untuk memberikan Miran informasi apapun. Atau mungkin sosok itu tak tahu kenyataan yang baru saja terungkap? Tapi bukankah itu mustahil? Jimin pasti melaporkannya.
Selama dua hari ini, Miran juga ikut-ikutan mengurung dirinya di kamar. Membuat semuanya semakin misterius, tak ada lagi kebahagiaan di keluarga ini. Miran masih letih dengan keadaan. Ia masih belum bisa membujuk sang ibu seperti yang dilakukan Miyoung, ia masih terpukul. Presepsi pahit dan bodoh mulai merasuki benaknya, Miran merasa menjadi benalu di sini. Ia merasa harus pergi secepatnya dari sini. Agar Miyoung dan ibu bisa bahagia.
Perasaan Miran campur aduk rasanya, sakit hati karena putus cinta; iya, sakit hati karena dibohongi keluarga; iya, sakit hati karena tak bisa bersama orangtua kandungnya selama dua puluh tahun; iya, marah pada dirinya sendiri; iya juga. Perasaan pahit ini terus-terusan menggeluti hati serta pikirannya, membuat Miran hanya ingin berbaring di atas ranjang sembari menangis seharian saja. Ia benar-benar menginginkan istirahat dari perangnya untuk melawan ombak yang menghadang jalan hidupnya.
Ini sudah malam, dan ia mendengar suara Miyoung yang memanggil namanya sembari memberikan ketukan di pintu. Gadis itu memutuskan untuk menetap di atas lantaran dua keluarganya mengurung diri di kamar, biarkan saja bibi asisten yang membawa makanan ke atas. Ibu mengurung diri di gudang, sedangkan Miran di kamarnya.
"Miran, aku membawakanmu makanan," ucap Miyoung setelah Miran membukakan pintu untuknya. Dapat Miran lihat bagaimana wajah sedih sang kakak, namun berusaha terlihat tetap tegar secara bersamaan.
Miran menghela napas panjang, menyuruh kakaknya masuk dengan kursi rodanya dan berhenti di dekat sisi ranjang. Miran duduk di sisi ranjang, "Kakak sudah makan?" tanya Miran, namun Miyoung menggeleng sebagai jawaban. "Belum. Jangan menawariku makanan. Tidak selera."
Miran tertawa renyah, "Sama kalau begitu. Bagaimana dengan ibu?"
"Belum makan juga, ia tetap mengatakan tidak ingin makan dan mengatakan kata; maaf karena belum bisa mengurus kita dengan benar."
Miran menghela napas, ia berdiri dan mendorong kursi roda Miyoung keluar dari kamarnya—lebih tepatnya ke arah ibu mengurung diri. "Kita mau ke mana?"
"Makan bersama ibu, aku rasa ini akan membantu kita semua."
Ketika mereka sampai di depan pintu kayu yang masih terlihat bagus tersebut, Miran mengetuk-ketuk pintu tersebut.
“Bawa saja makanannya, ibu tidak selera, Miyoung... kau jangan lupa makan, ya. Katakan juga pada Miran untuk segera makan agar tidak sakit.”
"Ini Miran."
“Miran? Kau sudah makan?”
"Belum. Aku tidak selera makan, suapi aku, Ibu." sungguh, entah kenapa Miran merasa ucapan sepelenya—terlebih pada panggilan di akhir, mengandung bawang yang mampu membuat matanya pedih dan membuat air matanya menggenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
FanficSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...