Pagi hari kembali menyambut, terik mentari begitu menusuk hingga ke dalam retina mata gadis itu. Perlahan-lahan kelopak matanya mekar, menampilkan mata hitam penuh keindahan tersebut. Dia menghela napas, seperti habis dikejar-kejar oleh hantu. Ingatan semalam begitu jelas di kepalanya hingga saat ini. Dia mencoba memejamkan matanya kembali, namun tiba-tiba dia membukanya kembali ketika teringat Jimin tidur di sampingnya semalaman.
Dia langsung mengambil posisi duduk dan celingukan ke sana dan ke mari—mencari sosok yang tidur di sampingnya semalaman ini. Namun tidak ada orang lain di kamarnya selain dirinya sendiri dan pantulan dirinya di cermin, lantas ... ke mana Jimin pergi?
"Dia pasti ada di bawah! Dia tidak akan pulang semudah itu!" ucapnya jengkel mengingat perilaku Jimin yang tidak mudah menyerah. Tangannya mengepal sembari menurunkan kakinya dari atas ranjang dan melenggang kesal menuju lantai bawah.
"Yak! Park Jimin! Di mana kau?!" gadis itu berteriak-teriak sembari menuruni anak tangga, ia bersumpah akan mengusir Jimin dari rumahnya meskipun harus mengorbankan panci merah kesayangan ibunya. "Yak, Park Jim—"
"Hey, kenapa kau berteriak-teriak? Ini masih pagi, sayang..."
Miran sontak membeku, ketika mendengar suara sang ibunda yang memasuki rungunya.
"A-a-ah, kalian sudah pulang?" pungkas Miran dengan gugup.
"Kau mencari pria sialan itu?" tiba-tiba saja sang ayah membeo dengan wajah garangnya, ucapannya pun sedikit dingin.
"Sssh, tidak perlu diungkit. Pria itu bilang Miran baru saja kecelakaan. Biarkan dia pulih terlebih dahulu, baru kita bahas persoalan ini."
Miran meringis kecil, Jimin pasti memberitahu mereka. Siapa lagi memangnya? Oh tidak, Miran akan terkena amarah pastinya.
"T-tunggu. A-aku minta maaf tidak memberitahu kalian soal kecelakaan itu. T-tapi sungguh, aku tidak ingin ayah cemas dan meninggalkan proyek yang ayah impikan selama ini." kepalanya menunduk takut, tidak berani menatap wajah siapapun kecuali kaus kakinya. Heol, mungkin kaus kakinya sedang menertawakannya saat ini kalau saja dia punya mulut dan mata.
Helaan napas sang ayah terdengar dari bibirnya, membuat Miran mencengkram ujung kausnya. Ia melihat siluet tangan sang ayah yang beranjak, ia menduga itu akan menjadi sebuah tamparan—namun nyatanya, sang ayah malah mengelus surainya dengan penuh kelembutan, "Miran... ayah sangat menyayangimu melebihi apapun. Kau tahu, kau lah yang paling kami tunggu sejak dulu, kami benar-benar akan menjagamu seumur hidup kami. Proyek yang ayah impikan tidaklah sepenting keselamatanmu, kau lebih berharga dari apapun itu."
Sontak wajah Kwon Miran mulai berseri-seri, sudut bibirnya terangkat seperti kepalanya yang juga mendongak dan kakinya mulai meloncat agar sampai ke dalam pelukan sang ayah. "Terima kasih, Ayah!"
"Tapi persoalan pria itu—"
"Ssst, Yeobo! Sudah kukatakan lebih baik kita bicarakan ini nanti saja!"
"Tidak! Tolong jangan membuatku penasaran sepanjang hari. Katakan saja semuanya sekarang."
★ ✰
"A-awh...." Park Jimin meringis sendirian ketika handuk kecil dari rendaman air es tersebut mengenai luka lebam di sudut bibirnya. Dia harus terlihat tampan ketika Miran datang ke mari—ya, Kwon Miran memberinya pesan tentang di mana dirinya berada atau menginap saat ini, pasalnya gadis itu ingin ke sana dan membicarakan suatu hal.
Sedang mengompres handuk rendaman tersebut, tiba-tiba suara bising timbul ketika seseorang membuka pintu kamar hotelnya dan membantingnya dengan keras sebelum menutupnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
FanfictionSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...