hai, halo, hola ! maaf aku terlambat lagi ue ue :(
ya kalian pasti udah ngerti aku, kalo up di malem minggu tandanya aku kelupaan 👍
happy reading♡★ ✰
Sedari tadi hening melanda di dalam taksi, Kwon Miran sibuk menatapi panorama di luar mobil disertai bola-bola salju kecil yang turun dari atas langit. Sedangkan Jimin di sebelahnya sibuk memandangi gadis itu sembari tersenyum kecil. Balutan musik jazz dengan volume kecil mampu menjadi penghangat di tengah salju hari ini.
"Apa rumah sakitnya masih jauh?" Miran bertanya pada sang supir untuk memastikan, karena ia rasa sudah setengah jam terlewati—namun kendaraan ini belum sampai juga di tempat yang ia tuju.
"Iya, Nona. Ada kemacetan, biasanya di musim salju begini ada banyak sekali kecelakaan yang menghambat lalu lintas," jawab sang supir sembari terus fokus untuk menyetir.
Miran mengangguk-angguk, dia melipat kedua tangannya di depan dada sembari sesekali mengusap siku-nya. Sepertinya dia kedinginan, dan untungnya Jimin ini tipikal pria yang super peka. Dengan diiringi kekehan kecil, Park Jimin langsung tergerak untuk melepaskan jaket coklatnya dan memasangkannya pada tubuh Miran, "Ini akan menghangatkanmu," ucapnya sembari senyam-senyum sendiri.
Seperti terkena deja vu, Kwon Miran merasakan kehangatan yang dulu pernah ia rasakan—hanya saja, kali ini terasa berkali-kali lipat dengan kehangatan yang begitu nyata. Ketika Jimin sedang merapihkan jaketnya agar sempurna terpasang di tubuh Miran—tiba-tiba saja gadis itu menahan tangan Jimin, "Aku tidak memerlukan ini, gunakan saja ini untukmu," ujarnya dingin tanpa menoleh.
Sejujurnya Miran memang membutuhkan jaket itu karena dia benar-benar kedinginan, tetapi ia tidak bisa bohong kalau sesuatu di dalam dirinya menangis ketakutan akan jatuh lagi ke dalam lubang terdalam. Senjata ampuh dari Park Jimin adalah kehangatannya, dan ia takut kehangatan itu menjadi kelemahannya lagi seperti kala dulu.
"Aku tidak ingin bergantung dengan kehangatan yang sama," timpal Miran sebelum Jimin berhasil memotongnya.
Jimin menghela napasnya, perlahan menggeser duduknya dan menahan pinggang Miran agar gadis itu tidak pergi ke mana-mana. Tanpa tahu keadaan, Jimin beralih memeluk Miran dan menaruh kepalanya di perpotongan leher Miran, "Kalau kau tidak ingin bergantung pada kehangatanku, biarkan aku saja yang bergantung pada kehangatanmu," ucapnya santai sembari mencari posisi yang nyaman untuk dia memejamkan mata dan tidur untuk sementara.
Namun entah karena apa, tiba-tiba saja dia terjaga kembali, namun tidak mau pindah posisi—tetap menempel seperti itu pada Kwon Miran. Perlahan ia bangun dan duduk tegak, kini dia menuntun kepala Miran agar bersender di dadanya. Meskipun diiringi decakan, gadis itu tetap menurut dan pasrah, hal itu mampu membuat seutas senyuman terukir di wajah Jimin.
Jimin mengecup pucuk kepala Miran sekilas, "Cobalah untuk berbincang pada hatimu dan dirimu, apa yang sebenarnya yang kau mau, dan apa yang sebenarnya kau inginkan? Rasakan semua itu, dan katakanlah jawabannya padaku. Kalau relung hatimu memang menginginkan aku pergi, maka akan aku lakukan. Kalau ia menginginkan aku menjauh dan takkan pernah kembali, maka akan aku lakukan. Aku berjanji, kalau hatimu memang meminta hal seperti itu, maka akan aku lakukan demi kebahagiaanmu," ujar Jimin dengan nada parau sebelum mengecup puncak kepala gadis itu lagi, namun kali ini lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
STARTED BY MISTAKE | PJM
FanfictionSatu hal terumit yang pernah Miran temui di sepanjang kehidupannya adalah-bertemu dengan Jimin. Malapetaka yang mampu memporak-porandakan hatinya. Jimin mengajarkannya apa itu jatuh cinta dan apa itu patah hati. Jimin mengenalkannya pada pengkhianat...