~*~
"Mama ngapain sih harus ke sana?" ujar Yejin dengan nada tidak suka begitu mengetahui tujuan dari kepergian ibunya.
"Sayang, ga boleh gitu. Papamu pasti kesepian di sana. Mama datang mau bawain papa kamu makan siang, sekalian mau liat keadaan dia di sana." Jawab Seri yang berusaha menenangkan hati putrinya.
"Buat apa ngeliat keadaan pembunuh itu? Biar aja dia membusuk di penjara"
"Yejin!!!"
PLAK!
Seri membentak putrinya, diikuti tangan kanannya yang refleks mendarat di pipi Yejin. Raut wajahnya tampak menunjukkan kemarahan. Dadanya bahkan naik turun menahan amarah yang sudah memuncak begitu mendengar kalimat terakhir putrinya.
Sejak kapan Yejin menjadi anak kurang ajar seperti itu. Ia bahkan tak pernah ingat sedikit pun pernah mengajari putrinya untuk bersikap kurang ajar pada orang tua.
Lagi dan lagi Yejin harus merasakan sakit di fisiknya. Tapi kali ini rasa sakit itu terasa berkali kali lipat. Bukan di pipinya, melainkan di hatinya.
Dadanya terasa begitu sesak, bahkan hampir membuatnya kesulitan untuk bernapas. Yejin memegangi pipi kirinya yang mulai berdenyut, sambil menatap ibunya dengan tatapan tak percaya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Yejin, ia dibentak bahkan ditampar oleh ibunya. Meskipun Yejin pernah berbuat salah, selama ini Seri hanya menegur dan lebih sering menggunakan kata-kata yang lembut dibanding memarahinya dengan memaki atau membentaknya.
"M-mama?" ucapnya lirih, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ibunya.
Yejin berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Seri yang tampak tak percaya dengan apa yang sudah diperbuatnya barusan. Ia menatap kedua tangannya dengan mulut menganga sambil menitikkan air mata.
Seri segera menyusul Yejin yang sudah sampai di dalam kamar. Terdengar olehnya isak tangis putrinya yang begitu keras dari balik pintu.
Tok Tok
"Yejin, maafin mama sayang" ucap Seri sambil terus mengetuk pintu kamar putrinya.
"Mama ga sengaja sayang, mama minta maaf," lanjutnya.
Tak ada jawaban.
Yejin menelungkupkan wajahnya di bantal tidurnya sambil menangis sejadinya. Ia bahkan tak menyadari suara tangisnya begitu kencang hingga terdengar sampai ke luar.
Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh ibunya. Kenapa ibunya bisa setega itu menamparnya. Yejin sadar mungkin perkataannya tadi salah. Ia bahkan tak mengerti kenapa bisa berucap seperti itu.
Yejin sadar perlahan kebencian terhadap Namjoon mulai menguasai dirinya. Semua perlakuan buruk teman-temannya berawal karena ayahnya. Bahkan, ucapan yang ia lontarkan tadi seolah tertanam dalam dirinya karena menerima kata-kata itu terus menerus dari para pembully di sekolahnya.
Mentalnya secara perlahan menerima kata-kata itu sebagai 'hal' yang sudah melekat dalam dirinya, sehingga tanpa sadar ia bisa mengucapkan kalimat itu kapan saja jika hal itu berkaitan dengan Namjoon. Ntah kenapa sesuatu yang mengingatkannya kembali pada papanya akhir-akhir ini bisa membuatnya marah, kesal, dan sedih secara bersamaan.
Karena itu, emosinya menjadi tak terkendali. Tapi bukan berarti ibunya bisa menamparnya begitu saja. Yejin hanya ingin dimengerti bahwa dia sudah lelah dengan hidupnya. Ia hanya ingin semuanya segera berakhir.
Yejin rindu dengan kebahagiaan yang ia dapatkan dulu. Ia beitu merindukannya seperti tangan yang ingin menggapai bulan nan jauh di sana. Terasa mustahil.

KAMU SEDANG MEMBACA
BINASA (REVISI)
JugendliteraturSebuah harapan dapat menghidupkan kembali hati seseorang yang hampir mati. Tapi, tidak segan-segan juga untuk menghancurkan sehancur-hancurnya. Menjadikanmu kepingan usang yang tak lagi bisa kembali utuh pada dirimu di masa lalu. Berharap terlalu ti...