Pertengkaran mereka semalam membuat keduanya canggung hingga saling menghindar satu sama lain. Seperti pagi ini, Arin yang sedang sibuk memasak di dapur dan Soobin yang hanya duduk bersila di sofa ruang tamu. Hanya duduk, tanpa televisi yang menyala, tanpa ponsel yang ada di tangannya, tanpa buku yang biasa ia bolak-balik, hanya duduk diam bingung harus berbuat apa. Sesekali ia menggaruk kepalanya kasar saat mengingat kejadian semalam. Mengingat nada suaranya yang meninggi saat membalas semua amarah Arin juga dengan amarah yang menggebu-gebu. Bahkan Soobin saat ini merutuki beberapa kalimat yang semalam ia katakan kepada Arin. Ada rasa menyesal dalam diri Soobin saat membentak Arin, namun ada rasa puas juga di mana ia bisa meluapkan emosi dan perasaannya yang selama ini belum pernah ia ungkapkan kepada Arin.Begitu juga Arin. Tangannya benar sedang memotong sayur-sayur, matanya benar mengawasi kentang yang ada di wajan penggorengan, namun pikirannya tak lepas dari Soobin dan kejadian semalam. Beberapa kalimat yang Soobin lontarkan padanya tidak sepenuhnya salah, sebagian besar benar bahwa tidak seharusnya Arin membentak Soobin seperti semalam karena posisi Soobin di sini adalah seorang suami. Tapi bukan salah Arin juga karena Soobin jarang melakukan kebiasaan baik yang sering Arin tunjukkan pada Soobin agar pria itu dapat terbiasa dengan kehidupan baru mereka.
Saat sedang sibuk dengan pisau dan talenannya, Arin dikejutkan dengan keberadaan Soobin yang sedang membuka kulkas. Arin diam saja tidak menunjukkan ekspresi bahwa ia mengetahui keberadaan Soobin walau matanya sesekali melirik apa yang sedang dilakukan pria itu hingga menimbulkan suara gaduh kotak-kotak makanan di dalam kulkas sana.
Soobin menggaruk kepalanya sambil menegakkan tubuhnya menghadap pada Arin yang sedang memunggunginya, pura-pura menata gelas di rak piring.
"Kak..." suaranya pelan dan terdengar ragu.
"Ya?" Arin pura-pura baru menyadari keberadaan Soobin, ia melihat Soobin dengan tatapan bingung dan dengan suara biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa namun malah terkesan canggung.
"Kemaren aku taroh coklat tinggal sedikit di sini kok sekarang nggak ada ya?" Tanyanya sambil menunjuk ke arah kulkas. Matanya hanya berani menatap Arin sebentar, lalu beralih pada kulkas di sampingnya.
Arin meninggalkan pekerjaannya, ikut merunduk dan membantu Soobin untuk menemukan coklatnya. Pasalnya Arin tidak melihat coklat sama sekali dari tadi saat beres-beres membersihkan sayuran kering dan bahan makanan lain yang sudah tidak layak makan.
"Nggak ada tuh." Arin mendongakkan kepalanya, melihat Soobin yang juga celingukan mencari kebwradaan coklatnya. "Emang bungkusnya warna apa?"
"Hijau. Rasa matcha. Coklat matcha." Jawabnya lagi.
Oh, itu coklat? Kukira bubuk parsleyku yang udah habis tinggal kotaknya. Batin Arin sambil menyumpahi dirinya sendiri.
Arin kembali berdiri dan menutup pintu kulkas pelan sambil mendongak, melihat Soobin masih dengan wajah yang berbicara 'ketemu ya coklatku?'
"Emm... kayaknya t-tadi gak sengaja kebuang. Maaf ya, aku kira bumbu masak punyaku. Soalnya minggu lalu expirednya hari kemaren. Nanti aku beliin lagi." Jelas Arin takut-takut Soobin malah menyemprotnya dan menyudutkan dirinya.
"Oh, yaudah deh nggak papa." Jawabnya dengan spontan tanpa rasa kecewa sama sekali. Lalu ia mengulum bibir saat Arin kembali sibuk dengan masakannya. Bingung, masih ingin berbincang dengan Arin tapi masih agak gengsi juga, tapi pingin.
"Kenapa? Ngapain diem di situ?" Tanya Arin sambil memindahkan teflon berisi telor mata sapi bumbu balado yang baru matang ke meja makan. Soobin malah cengo. "Duduk sana." Arin melirik kursi kosong di sebrang meja, mengisyaratkan agar Soobin duduk di sana untuk sarapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tangga [Soobin&Arin]
Fiksi PenggemarMenikah emang banyak berantemnya, apalagi kalo usia pernikahannya masih muda, ditambah umur Soobin dan Arin yang memang masih sangat muda. Terlebih lagi Soobin yang setahun lebih muda dari Arin. "Kenapa sih kakak marahin aku terus." "Kak marah ya...