"H-hamil dok?" Soobin saking terkejutnya sampai berdiri. "S-saya.. ng.."
Dokter muda itu tertawa kecil dan akhirnya berdehem.
"Bapak ikut saya, kita bicara bersama-sama. Istri bapak untuk sementara kami pindahkan ke ruang inap hingga membaik." Soobin sampai tidak sadar bahwa Arin sudah diberi penanganan dokter dan perawat karena ia sudah tidak sadarkan diri.
Sekarang ini Soobin bingung. Perasaannya campur aduk. Kepalanya pening karena bertubi-tubi dihantam kenyataan yang teramat sangat mengejutkan.
"Kram perut saat hamil muda ini normal terjadi pak. Bisa karena perkembangan rahim atau perubahan hormon. Biasanya memang terjadi pada awal-awal kehamilan yang disertai mual muntah." Dokter itu menjelaskan dengan pelan karena melihat wajah Soobin yang bingung. "Namun ada yang perlu diwaspadai dari kram perut saat kehamilan. Bisa suatu tanda keguguran." Soobin langsung tegang.
"J-jadi??"
"Setelah kami periksa kehamilan ibu Arin sudah pada usia 2 minggu. Jadi, kram perut yang dialami oleh ibu Arin ini akibat dari usia muda kehamilan. Jadi bapak tidak perlu khawatir. Nanti sore ibu Arin sudah bisa dibawa pulang." Jelasnya lagi.
"J-jadi... saya jadi bapak?" Tanyanya konyol.
Dokter itu menahan tawa sedikit, ia menjaga wibawanya. "Betul pak. Selamat." Katanya sambil menepuk punggung tangan Soobin yang ada di atas meja.
"T-tapi seminggu lalu istri saya tes pake testpack kok, dok. Hasilnya negatif."
"Jika sekali dua kali memang tidak akurat pak. Apalagi bukan dipagi hari pakainya. Tapi menurut hasil pemeriksaan ibu Arin positif mengandung usia 2 minggu." Tambahnya.
"Bentar dok, saya kaget." Soobin menepuk-nepuk dadanya. "Lalu saya harus gimana dok? M-maksudnya, saya harus ngapain habis ini?"
"Menjaga ibu Arin pastinya. Pastikan dia tidak stress, tidak banyak beraktivitas dulu karena masih beresiko keguguran. Sering-sering ajak olahraga ringan, jogging misalnya. Agar di trimester berikutnya janinnya semakin sehat dan kuat." Soobin mengangguk-nggangguk.
"Ibu Arin ada di ruangan 12A yang masih satu lorong dengan ruangan ini. Bapak setelah keluar ruangan ini ke arah kiri, lurus saja sampai menemukan ruangan 12A. Apakah ada yang ingin ditanyakan kembali?"
"Mungkin cukup dulu dokter. Nanti kalo mau tanya lagi boleh ya?"
"Silahkan. Bisa tanya kepada saya langsung di sini atau saat saya memeriksa ibu Arin nanti siang."
"Baik dok. Terima kasih banyak."
Soobin tidak bisa menahan gejolak di dalam perutnya. Wajahnya terasa panas karena dilingkupi rasa bahagia yang teramat sangat dalam.
12A
"Bun, aku masih belum pingin punya anak."
Soobin menarik tangannya dari engsel pintu. Senyumnya tadi langsung hilang saat mendengar kalimat Arin barusan. Bundanya datang.
"Bun, aku masih pingin S2, aku masih pingin kerja, aku masih pingin kejar mimpi aku. Aku belum siap punya anak." Lanjutnya. Soobin bersandar pada pintu ruangan Arin, berdiri di sana dengan tatapan kosong ke arah lantai.
"Semuanya masih bisa dikejar nak, nanti pasti ada waktunya masing-masing. Lagipula kamu nggak sendirian. Ada Soobin yang jagain kamu sama anak kamu. Ada bunda sama ayah, ada ibu sama papanya Soobin." Terdengar Bundanya Arin seperti sudah kehabisan kata-kata. Soobin duga bunda Arin sudah sedikit lama di dalam sana berbicara dengan Arin.
"Tapi aku yang hamil Bun. Aku yang bakal jalanin semuanya. Ngandung, melahirkan, nyusuin, njagain dia sampe bisa ngurus diri sendiri. Butuh waktu berapa tahun? 2 tahun? 3 tahun? Nggak Bun, bisa 10 tahun lebih bahkan bisa selamanya." Arin menaikkan suaranya, ada sedikit getaran pada nada bicaranya. Soobin tau Arin menangis.
"Kamu sekarang masih syok. Kamu tenangin diri dulu ya? Bunda mau beli makan siang dulu." Soobin langsung minggir dari depan pintu.
"Soobin.."
"B-bunda..."
Bunda Arin seperti tau kalau Soobin ada di luar mendengarkan percakapan mereka. Soobin diam saja tidak tau harus berbicara apa pada bundanya di depan ini.
"Maafin Arin ya? Soobin sakit hati ya? Mau ikut Bunda dulu? Ngobrol sama-sama?" Tawar bunda. Soobin mengangguk, lalu mengekori bunda Arin ke cafetaria rumah sakit.
"Dulu pas bunda hamil Arin juga kayak Arin. Taunya pas sudah usia 1 bulan malah, pendarahan sedikit tapi masih bisa diselamatin."
Soobin menyeruput es kopinya sambil mendengarkan bunda Arin bercerita.
"Awalnya bunda juga kaget dan nggak nyangka. Karna posisi bunda waktu itu lagi mau presentasi salah satu artikel bunda pas S2. Bunda langsung dibawa ke rumah sakit dan diberi penanganan." Lanjutnya.
Soobin mengangguk-ngangguk.
"Bunda juga nggak pingin punya anak secepet itu, Bin kalau kamu tau. Bunda nggak pernah cerita yang ini ke Arin karena pasti bakal nyakitin hatinya. Tapi Bunda minta waktu buat berpikir. Satu minggu setelahnya Bunda mulai sadar kenapa kandungan Bunda masih terselamatkan di usia kehamilan semuda itu. Padahal jarang ada yang selamat dengan pendarahan pada usia kehamilan seperti itu. Ayah banyak berusaha ngehibur Bunda dan mastiin bahwa semuanya bakal tetep berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Mimpi Bunda nyelesaiin S2 dan dapet kerjaan yang Bunda pingin bisa tetep tercapai." Jelasnya sedikit panjang tanpa jeda kali ini.
"Semuanya tercapai." Lanjutnya. "Tapi dengan waktu yang tidak cepat. Bunda ngelepasin S2 Bunda dan S2 lagi pas Arin masuk TK. Setelah S2 selesai, Bunda hamil Seokjun. Nunggu Seokjun TK lagi Bunda baru bisa dapetin pekerjaan Bunda meski bukan pekerjaan pertama yang Bunda impikan. Tapi semuanya tercapai dan Bunda bahagia."
Soobin menyeruput es kopinya lagi sambil manggut-manggut pelan.
"Bunda tau ini bakal berat buat Soobin." Bundanya Arin menggenggam tangan Soobin dan mengelus-elus punggung tangannya. "Soobin bicara sama Arin dulu nanti habis ini. Kalian bisa pikirkan ini bareng-bareng."
"T-tapi Bun... gimana kalo Arin beneran nggak mau punya anak dulu? Masa h-harus di..." Soobin menggantung kalimatnya.
Bunda Arin itu tersenyum pada Soobin. "Ada banyak hal yang harus diikhlaskan." Ia semakin menggenggam erat tangan Soobin. Soobin ingin menangis saja saat itu. Sungguh ingin menangis hingga berteriak. Tidak menyangka hal bahagia bagianya bisa se menyakitkan ini.
Soobin berdiri lama sekali di depan ruang inap Arin. Memegang engsel, kembali melepasnya, memegang engselnya lagi, melepasnya lagi, begitu selama satu jam. Tapi tidak ada gunanya juga ia berdiri diam terus di situ. Dengan sangat memantapkan hati, Soobin menekan engsel ruangan 12A tersebut, mendapati Arin sedang tidur (atau hanya berbaring) memunggunginya.
"Sayang..." Soobin mendekat dan duduk perlahan di ranjang Arin. Lalu pelan-pelan ia peluk Arin dan ia rengkuh seerat-eratnya. "Maafin aku."
--
Ngaco bgt aku nulisnya🥲
Gimana nih penumpang kapal sobirin??
Anyway, happy reading🥰🥰
Don't forget vomments, thanks
-Alfa
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tangga [Soobin&Arin]
Fiksi PenggemarMenikah emang banyak berantemnya, apalagi kalo usia pernikahannya masih muda, ditambah umur Soobin dan Arin yang memang masih sangat muda. Terlebih lagi Soobin yang setahun lebih muda dari Arin. "Kenapa sih kakak marahin aku terus." "Kak marah ya...