...pergi...

64 10 1
                                    

Seorang pria tengah duduk gelisah di depan ruang ICU, tatapannya yang sayu membuat siapa saja merasakan kasihan padanya.

Ceklek...

Suara pintu berdecit membuat pria itu tanggap berdiri dan menghampiri sang dokter dengan segera.

"Bagaimana keadaannya dok?  Umma baik baik aja kan? Jawab dok. "

Dokter tersebut memegang pundak pria tersebut "Maafkan saya, ummah kamu sudah tiada, yang kuat Raja, umma kamu sudah bahagia dan tidak merasakan sakit lagi, yang kuat ya. " Ungkap dokter tersebut yang tak lain adalah paman Hasad.

Sontak Raja mematung merasakan oksigen di sekitarnya menipis, badannya terasa lemas. Perlahan lahan dia mundur, melepaskan tangan paman Hasad dari pundaknya hingga punggungnya menempel pada tembok.

Langsung saja dia terduduk di lantai sembari menelungkupkan kepalanya, menangis sejadi jadinya, ummanya, ibunya, wanita pertama yang ia cintai telah pergi, membawa pergi sebagian diri Raja.

Paman Hasad yang melihat Raja begitu terpukul menghampiri Raja dan memeluknya erat, suara tangisan Raja kini semakin terdengar jelas. Hasad tak henti hentinya mengucapkan kata penenang dan mengusap punggung Raja agar tangisannya reda, namun tangisan Raja tak kunjung usai.

Hingga suara lembut terdengar oleh keduanya. " Kakak kenapa nangis?. "

Sontak Raja langsung melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. "Ti-dak kakak tak menangis." Jawab Raja sembari melihat Ara sayu.

Ara memajukan bibirnya, "tapi, kakak nangis, kakak pembohong. " Ujar Ara sembari melangkahkan kakinya ke ruangan sang ummah.

Tapi, langkahnya terhenti karena Raja yang menahannya "Ara mau kemana?."

"A-ra mau liat ummah dong, emang kenapa?  Ngga boleh?. " Tanya Ara bingung. Ia mulai gelisah karena atmosfer disekitarnya terasa aneh.

"Ara, dengarkan kakak, " Raja menuntun Ara duduk di kursi "Ummah sudah tiada. Ummah sudah pergi ke tempat yang sangat indah.. Tempat yang pastinya akan menjaga Ummah sampai kita datang. " Jelas Raja lembut.

Ara hanya diam mendengarkan tak berekspresi apapun, hanya diam, namun tatapannya langsung berubah kosong, hatinya berkecamuk, kepalanya pusing hingga kegelapan menelannya.

Ara yang limbung langsung ditangkap Raja dengan sigap, dan membawanya ke ruangan paman Hasad dengan segera. Agler dan Hasad pun langsung menyusul setelah tadi memberikan perintah untuk menyelesaikan urusan Ummah Sinta pada sang suster.

-----⭐-----

Rintik rintik hujan yang jatuh tepat di atas payung terdengar seperti musik pengiring bagi Ara dan Raja yang sedang bersimpuh di depan makan sang Ummah.

Setelah tadi menyelesaikan segala permasalahan dan segala hal akhirnya ummah nya telah selesai dikebumikan. Tak ada suara tangis hanya tatapan kosong dan terluka yang terlihat dari wajah dua orang tersebut.

Agler, Hasad, dan yang lainnya hanya menatap sendu pada dua orang kesayangan Sinta tersebut. Mereka prihatin karena mereka terlihat pura pura tegar.

Mang Dadang yang saat itu datang sebagai satu satunya keluarga ummah Sinta pun menatap sendu kedua ponakannya tersebut, tak ada yang terucap dari bibirnya. Biarlah mereka meresapi rasanya kehilangan hari ini dan besok mulai kembali seperti biasa, semoga.

Tap..

Tap..

Tap..

"Raja."

Suara panggilan itu mengalihkan atensi semua orang. Melihat siapa yang datang para teman dekat Sinta langsung pamit pulang pada Raja dan dibalas anggukan dan ucapan Terima kasih oleh remaja tersebut.

Dan yang tersisa hanya mereka berenam, saling berdiam diri. Hingga "kau perlu berbicara pada ayah. "

Raja bangkit dari simpuhannya, "Tak perlu, semuanya sudah selesai. Aku yang akan melanjutkan sisanya, dan kau hanya perlu diam tanpa menggerakan tanganmu sedikitpun. " Ucapnya sarkas. "Ara, ayo pulang. "

Ummah Sinta memang dimakamkan di Jakarta karena memang itu tempat kelahirannya, ia hanya mengikuti sang adik yang menikah dengan wanita desa saat itu untuk membesarkan Ara.

Ara pun hanya mengangguk dan berjalan berdampingan dengan Raja. Mereka langsung pergi tanpa melihat kebelakang sedikitpun, seolah olah mereka sedang meninggalkan masa lalu yang kelam dan berjalan ke arah masa depan yang cerah.

Mang Dadang pun hanya menghela nafas. Dan menatap ketiga orang itu dengan tatapan datarnya, dan langsung pergi menyusul kedua ponakannya yang sudah sampai di mobil.

"Kau harus menyelesaikan ini Pram. "
Setelahnya mereka langsung pergi bersamaan dengan rintik hujan yang kian menderas.















28.agustus.2021

AGLERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang