Revenge

374 67 23
                                    

Fuko masih dengan rasa gelisahnya yang semakin menjadi, keringat dingin mulai membasahi kening dan tangannya.

"Enaknya kita apakan mereka?"

"Lion..." panggilnya lemas.

Bersamaan dengan itu Yuta merangkul dan mencengkram bahu Fuko, membuatnya menoleh dengan mata bergetar ketakutan.

Yuta pun membalas tatapan itu.

Hari itu adalah hari yang berat bagi Fuko. Dirinya seolah terbawa kembali ke masa lalu sepenuhnya. Bayangan dimana dirinya di bully, di perkosa, diikat dikursi dan segala hal yang pernah menyakitinya secara mental dan fisik kini seakan terulang kembali.

"Lion..." bisik Fuko pelan.

Yuta hanya menatap tanpa kata, meski ia sempat ragu dengan apa yang dilakukannya tapi akhirnya ia lakukan juga. Membawa 4 orang brengsek ini bukanlah hal sulit baginya, bahkan jika mau Yuta akan menguliti mereka hidup-hidup dan membiarkan mereka mati kesakitan.

Sekon kemudian atensi keduanya teralihkan pada seorang wanita bernama Aiko yang menangis sesegukan. Matanya merah dan bergetar seolah ia ingin meminta pengampunan dari Fuko. Tapi tentu Yuta yang akan membuat keputusan soal nasib keempat orang ini.

"Perlu saya bunuh mereka?"

Mendengar perkataan itu Fuko mundur beberapa langkah --melepas rangkulan Yuta di bahunya lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Jelas itu pertanyaan yang sangat ngga berguna.

"Ng-ngga..." Fuko semakin ketakutan. Jangankan Fuko yang memiliki masalalu kelam, manusia normal saja pasti takut kalau dihadapkan dengan hal mengerikan seperti ini.

Dalam diamnya --Yuta benar-benar sudah membayangkan untuk melenyapkan keempat Orang itu. Baru kali ini ia banyak berpikir, hanya karena wanita seperti Fuko ia mau menunggu dan menahan hasratnya.

Lama-lama Yuta mulai gerah, bukan karena keempat orang ini kriminal --jelas bukan. Kalau bicara soal kriminal, maka Yuta adalah rajanya kan? Hanya saja ia ingin melenyapkan mereka semua, entahlah. Hanya ingin saja.

Yuta menarik nafasnya panjang. Dengan cepat ia mengeluarkan pistol kedap suara miliknya lalu.

Bam!

"AAAAAAAAA!"

Suara tembakan lalu diikutin oleh teriakan Aiko. Yap! Yuta menembak kepala salah satu laki-laki disana. Ketiga orang itu sekarang hanya sesegukan dan menjerit hebat. Sementara itu, Fuko tersungkur ke lantai saking kagetnya, ngga bersuara dan hanya bersusah payah mengatur nafasnya.

Bam!

Bam!

Bam!

Ngga butuh waktu lama, mereka berempat pun mati ditempat. Inilah Nakamoto Yuta.

Setelah Yuta memasukan kembali pistol kebalik saku jasnya, ia menghampiri Fuko yang masih terduduk kaku, lalu berjongkok. Semakin dekat jarak mereka, Fuko pun semakin takut. Ia menggelengkan kepalanya, meminta Yuta untuk berhenti mendekat.

Yuta berdecih, baru sadar kalau ia baru saja buat kerepotan baru. Ia memiringkan lehernya ke kiri dan kanan sampai sendi tulangnya berbunyi lalu memijat pundaknya sendiri.

"Sialan..." rutuknya pelan.

Tanpa pikir panjang ia menarik tangan Fuko, diikutin dengan teriakan histeris Fuko.

"Ngga! Ngga! Lepasin!!!"

Yuta terus menariknya, setengah menyeretnya karena Fuko terus berontak. Sampai akhirnya di ujung lorong Yuta mulai sedikit kesal.

BRAK!!!

Didorongnya Fuko ke tembok, "sial! Berhenti!!!" Mata mereka bertemu lagi.

"Jangan bunuh aku" lirih Fuko.

"Siapa? Siapa yang mau bunuh kamu! Sekarang kamu diam!"

Ngga mempan, Fuko justru semakin histeris sambil memukuli dada Yuta dengan sekuat tenaga --ia menangis hebat.

"Hentikan!" Bentak Yuta sambil mencengkram kedua tangan Fuko. Mata tajamnya tertuju pada Fuko, beberapa detik berlalu dan Fuko mulai terdiam untuk mengatur nafasnya sendiri seakan sesuatu memberitahunya bahwa Yuta akan membiarkan dirinya hidup.

●●●

Matanya terlihat begitu fokus memperhatikan tubuh Fuko sambil sesekali membetulkam kacamatanya.

"Kok bisa?" Katanya.

"Hei, Jungwoo! Harusnya saya yang nanya gitu. Kamu kan ahlinya." Balas Yuta yang sedari tadi duduk manis.

Jungwoo menghela nafasnya, "boleh gua pegang?"

Sekon kemudian Yuta menoleh, "pegang sedikit saya potong tangan kamu"

"Eyyyyy" kata Jungwoo sambil menggelengkan kepalanya heran.

Malam ini, Jungwoo dan Yuta berdiskusi alot soal microchip yang ada di dalam tubuh Fuko.

"Inikan sebenernya tinggal di bunuh aja Fuko-nya, terus ambil chipnya... eh tapi yang tau mansion rahasia itu cuma Fuko ya?" Jungwoo kemudian melirik Fuko yang diam seribu kata. "Alamatnya dimana? Coba bilang"

"Sa --saya gatau" jawab Fuko.

Yuta terkekeh pelan, "bodoh! Kalau segampang itu solusinya saya ga akan manggil kamu jauh-jauh ke jepang Jungwoo, lagipula saya berfirasat kalau ini permainan mafia Jepang besar-besaran. Bukan sekedar microchip, harta atau mansion"

"Itukam cuma firasat, gimana kalau ini di rencakan oleh baginda ibu Mouri untuk mengambil semua harta Fuko. Harta warisan?"

Yuta terkekeh mendengat gelar Baginda yang Jungwoo sebut untuk ibunya, "terlalu mudah untuk nenek sihir itu kalau sekedar soal harta warisan."

"Apa ini Black Game yang lagi ngetrend di para pesohor bisnis gelap? Kita minta bantuan Johnny, gimana?"

"Bisa jadi. Jangan, dia sedang bahagia dengan pasangannya. Saya ngga mau ganggu moment mereka, juga gamau terlalu banyak yang ikut campur. Apa yang terjadi di Jepang, biar tetap di Jepang"

Krrrrkk~

Yuta dan Jungwoo langsung menoleh kearah sumber suara.

"Anak manusia belum lo kasih makan Yut?" Tanya Jungwoo santai.

●●●

Yuta dan Fuko akhirnya makan. Kali ini Yuta bisa melihat Fuko makan seperti orang normal yang lapar, apa rasa takutnya hilang kalau lapar?

"Fuko, kamu bisakan berkomunikasi layaknya manusia normal biasa? Maksudnya, tolong kamu jangan takut. Kamu bisa lakuin apapun disini. Soal 4 teman lama kamu yang saya bunuh tadi pagi, anggap aja itu hiburan sekaligus pembuktian kalau kamu punya saya disini jadi ngga ada yang perlu kamu takutkan"

"Iya..." Jawab Fuko singkat, meskipun ia masih dalam kondisi diluar batas normal tapi ia masih punya pikiran. Ia benar-benar sedang ada di kandang singa!

"Fuko..." panggil Yuta.

"I... iya?"

"Kamu bisa baca pikiran atau bisa tahu masa depan dengan cara menatap mata seseorang? Itu menarik, coba tatap mata saya."

Seketika Fuko berhenti makan dan menyimpan sendoknya. Bukannya Fuko ngga mau, tapi ia sudah melakukannya. Bayangan yang ia lihat sangat sulit dipercaya sampai Fuko menceritakan itu semua pada mendiang Bibi Mai dan membuat Bibi Mai terdiam seribu bahasa.

"Sa --saya sudah lihat"

"Apa?" Tanya Yuta antusias.

Sayangnya jawaban Fuko hanyalah sebuah gelengan kepala. Yuta membuang nafasnya kasar, "ok! Saya ngga akan paksa kamu"

"Lion..."

"Apa kamu mau terus-terusan manggil saya dengan panggilan itu?"

"Saya rasa tuan suka.."

Hening...

Semoga Yuta akan sadar bahwa Fuko bisa tahu beberapa hal tanpa bertanya sekalipun.

Bersambung

[EDITING ON PROCESS] YUTA'S Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang