Fuko dan Bunga [edited]

601 126 14
                                    

Yuta menunggu di ujung ruangan sambil memasukan kedua tangan ke saku celana. Hari ini Yuta harus membawa Fuko ke kediamannya di Kyoto sesuai dengan apa yang Mori mau, hanya karena ia merasa bersalah atas kematian Shuji.

Yuta hanya memiliki dua orang yang paling dekat dengannya. Shuji dan Sachan. Saat keci kedua orang itulah yang mengurusnya. Yuta beranjak dewasa, Shuji tetap bertugas di Osaka bersama Mori dan Sachan ikut dengannya ke Kyoto.

"Tolong lebih cepat, bisa?" Kata Yuta.

Setelah itu Yuta segera berdiri dan memerintahkan pengawalnya untuk membawa Fuko.

Fuko terihat sangat ketakutan, matanya bergetar, kulit pucat dan rambut panjang yang lusuh ia berjalan sembari dikawal.

Fuko Kiritani, sebenarnya dia cuma gadis malang yang terlahir di keluarga kaya. Ayahnya adalah pemilik perusahaan besar dan baru saja meninggal karena kecelakaan, ibunya sudah cerai sejak lama, jadi Fuko adalah satu-satunya pewaris semua bisnis ayahnya.

Fuko menderita gangguan mental sejak lama, skizofrenia paranoid. Perempuan cantik bertubuh kecil ini adalah korban bullying saat ia masih sekolah, gejalanya sudah ada dari dulu tapi ayah dan ibunya terlalu sibuk dengan bisnis dan uang --ayahnya bahkan sempat jadi orang terkaya di Jepang beberapa tahun lalu.

Orang tuanya bercerai, kondisi Fuko semakin parah, iya harus meminum obat penenang hampir setiap hari, coba bunuh diri, delusional dan suka berhalusinasi, kadang dia juga berperilaku tidak normal seakan akan sedang diawasi atau sedang disakiti sehingga ia sering menunjukan rasa marah, gelisah sampai benci terhadap seseorang secara random tapi ia masih memiliki fungsi intelektual dan ekspresi yang normal.

Waktu cepat berlalu, keluarganya hampir bangkrut sampai-sampai harus melelang semua barang mahal dan antik di kota Ibaraki beberapa waktu lalu.

Yuta menatap bayangan wajahnya di jendela mobil. Ia benci hidupnya, ia benci Mori, ia benci di perintah, ia ingin membangun kerjaannya sendiri.

•••

Yuta melipat tangannya di dada, ia menoleh dan melihat Fuko yang bersandar di dinding seperti hantu. Sesuai dengan anjuran dokter, ruangan itu kosong dan hanya ada alas tidur dan bantal dilantai untuk menghindari hal yang tidak diinginkan kalau-kalau Fuko kumat lagi.

"Apa ruangan ini punya jendela?" Tanya Fuko.

"Jadi ruangan ini punya jendela?" Tanya Fuko lagi.

Tanpa menggubris apa yang Fuko tanyakan Yuta menarik daun pintu, menutup dan menguncinya rapat-rapat. Dari kejauhan seorang wanita paruh baya mendekat, dia membungkuk memberi hormat pada Yuta.

"Tuan..." katanya sambil membungkuk, "akhirnya tuan tetap membawa nona ini kemari?"

"Demi Shuji. Hitung-hitung memberi penghormatan terakhir atas dedikasinya pada Mori dan saya selama puluhan tahun"

Sachan kembali membungkuk.

"Dia gila, maaf merepotkan. Saya rasa dia hanya tinggal sebentar disini. Tolong rawat sampai Mori menjemputnya."

"Baik saya mengerti" balas Sachan dengan penuh hormat.

Intinya hanya stempel yang Mori inginkan bukan? Dimana stempel itu? Stempel sudah jadi hal yang biasa. Biasanya keluarga pembisnis besar sudah meyiapkan stempel untuk semua anggota keluarganya sejak mereka memiliki kartu pengenal resmi. Stempel sendiri sangat sulit dipalsukan, benda itu punya ciri khas sendiri atau kode-kode khusus untuk menghindari kecurangan tapi bukan berarti tidak mungkin untuk di palsukan.

•••

Pagi hari saat matahari baru saja muncul, Sachan segera membuka pintu kamar Fuko. Di lihatnya wanita itu masih terlelap dilantai beralaskan kasur tipis. Sachan tersenyum tulus, ia merasa kasihan pada gadis muda itu.

"Permisi, saya izin masuk ya Nona"

"Nggh" lenguh Fuko yang segera terbangun dan duduk. Ia menyapa Sachan sambil membungkuk, "se --selamat pagi"

Perlahan Sachan membuka ikatan straitjacketnya. Fuko menatap Sachan, dia tersenyum.

"Cantiknya" puji Sachan "kita sarapan dan berjemur di halaman belakang" lanjutnya seraya menarik tangan Fuko. Sachan menggandengnya.

Masih dengan baju tidurnya Yuta membuka jendela balkon kamarnya yang langsung mengarah ke halaman belakang yang di hiasi banyak tanaman dan bunga yang cantik. Disana sachan duduk disamping Fuko sambil mengunting kukunya.

"Mataharinya sangat terik ya?" Tanya Sachan.

Fuko mengangguk, setelah beberapa hari ngga bertemu matahari tentu Fuko butuh adaptasi dengan cahaya dan suhu yang baru, ia menutup matanya rapat-rapat.

"Buka perlahan"

Fuko menggeleng.

"Kamu bisa, ayo buka biar terbiasa. Ini musim semi, bunganya cantik-cantik"

Fuko mengerjapkan matanya, pagi itu baginya terasa sangat menyilaukan rasanya seperti dulu saat ia di buli dan matanya dipaksa terbuka lalu disorot senter, sangat membekas dan menyeramkan.

"Aaaakh!" Teriak Fuko, sambil menutupi matanya dengan tangan.

Yuta yang sedari tadi memperhatikan mereka kaget mendengar teriakan Fuko, itu bukan sekedar teriakan tapi erangan.

"Aaaarrrgghhh! Jangaaaannn! Aaaarrgggh!" Kali ini Fuko memukul kepalanya sendiri dengan tangan.

Sachan berusaha menarik tangan Fuko supaya berhenti memukuli kepalanya sndiri, beberapa cakaran dipampang jelas di wajah Fuko.

"Fuko! Fuko! Lihat! Lihat!" Kata Bibi Mai sambil menangkul kedua pipinya.

Nafas Fuko memburu, sedikit lebih tenang saat melihat sepucuk kelopak bunga sakura yang diperlihatkan Sachan.

"Fuko aman disini, ada saya juga ada Tuan Yuta" kata Sachan sambil menengadah melirik Yuta yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Fuko mendongkak, ia melihat Yuta disana, cepat-cepat Yuta memalingkan wajahnya.

"Yuta?" Fuko tersenyum, "tampan" lanjutnya setengah berbisik.

Sachan terkekeh, "iya tampan" balasnya sambil mengusap kepala Fuko lembut.

Atensi Fuko masih fokus pada Yuta dan lelaki itu hanya mendelikan mata, segera masuk dan menutup jendela kamarnya.

Yuta mendengus, ya dia benar-benar membawa seorang wanita gila ke rumahnya.

•••

Seperti biasa Yuta berada di meja makan besar seorang diri dengan beberapa makanan terjadi dihadapannya. Sebenarnya Yuta merasa kesepian, untuk menutupi kesepiannya dia merekrut banyak pembantu dan pelayan, ia sendirian di rumahnya yang besar. Selembar roti dengan selai coklat di gigitnya dengan lahap.

"Fuko!" Panggil Sachan.

Fuko berjalan melewati meja makan Yuta, Sachan berlari kecil menyusul Fuko lalu membungkuk saat melihat Yuta.

Yuta ngga memasang ekspresi apapun, ia hanya melihat Fuko yang berambut sangat panjang, dress putih selutut dengan lengan pendek dan bertelanjang kaki. Setangkai bunga terselip di daun telingannya, memberi kesan cantik yang sederhana ditambah wajahnya yang yang sama sekali ngga tersentuh make up.

Yuta menelan roti yang baru saja di kunyahnya, mata mereka bertemu.

"Yuta?"

Yuta diam sambil sesekali melirik Sachan.

"Kamu akan menolong saya kan?" Lanjutnya sambil tersenyum.

Sachan hanya diam dan ikut menunggu apa yang akan Yuta katakan.

"Mohon bantuannya" kata Fuko memecah keheningan lalu berjalan ke arah Sachan. Mereka berjalan menjauh tapi pandangan Sachan masih fokus pada Yuta seolah ia menunggu jawaban baik keluar dari mulut tuannya yang hanya diam sejak tadi.

Yuta berdecih, "bantu apanya..." bisiknya pada diri sendiri.

Bersambung
Vote and comment

[EDITING ON PROCESS] YUTA'S Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang