Apa jadinya jika kau anak tunggal menginginkan seorang kakak untuk menjagamu? tapi saat itu semua terkabul tidak seperti ekspetasimu?
Berharap memiliki 1/2 kakak laki-laki/perempuan agar bisa menjagamu? tapi bagaimana kalau Tuhan memberikanmu 10 kak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Katakan, apa semua yang dia katakan benar?" Tanya Gempa.
Melihat Y/N terdiam Gempa menyimpulkan kalau yang dikatakan Taufan memang benar.
"Begitu rupanya" ucap Gempa dengan aura mode bertarungnya membuat Taufan dan Blaze yang melihat pun merinding.
Hali? Entahlah ada apa dengan bang gledek satu ini dia murung sejak tadi.
"A-aku mohon jangan berbuat sesuatu lagi bang, Fang sudah mengurus semuanya jadi kalian tidak perlu khawatir" ucap Y/N mencoba menenangkan Gempa.
"Fang? Kalau begitu yasudah, aku percaya padanya" ucap Gempa yang dengan seketika kembali normal.
"Sebentar lagi Supra dan yang lainnya lulus, kau harus jaga dirimu sendiri di sekolah jika ada sesuatu hubungi salah satu diantara kami, mengerti?" Ucap Blaze mendekati Y/N.
Y/N hanya mengangguk menanggapi ucapan Blaze, matanya tertuju pada Hali yang sedari tadi diam seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Abang" sahut Y/N tapi tak ditanggapi Hali.
"Hey! Y/N panggil tuh!" Gempa menepuk pundak Hali membuat sang empu kaget dan menatap langsung kearah Y/N.
"Hah? Iya ada apa?"
"Abang sedari tadi kau diam, ada apa?"
"Ah... Tidak ada, btw kau baik-baik saja?" Tanya Hali yang baru menanyai kondisi Y/N.
"Aku baik-baik saja, yang justru harus ditanya adalah kau.. abang, jika ada sesuatu bicaralah"
Hali hanya diam dan menundukkan kepalanya, dia menggelengkan kepalanya dan berkata 'aku baik-baik saja' setelah itu dia pergi ke atas menuju kamarnya.
Y/N merasa janggal dengan sikap kakaknya yang satu ini, tidak biasanya Hali seperti itu.
****
Ting Tong...
"Y/N!! Tolong bukakan pintu!" Teriak Gempa dari arah dapur.
"Aku sedang mengerjakan tugasku bang! Suruh yang lain saja!"
"Blaze?! Ice?!"
Hening, itulah yang dirasakan Gempa saat ia memanggil saudaranya hanya untuk membukakan pintu rumah.
