Jeno menyalakan pematiknya, menempelkannya pada ujung rokok yang sudah terselip dibibirnya. Ia menghisap kuat rokoknya lalu menghembuskannya.
Jeno kini berada di rooftop rumah Haechan, satu-satunya tempat dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut ketahuan. Orangtua Haechan biasa nya akan pulang dipetang hari atau bahkan kadang larut malam terlebih jika restaurant yang dikelola oleh orangtua Haechan itu sedang ramai atau ada acara.
"Chan, jika eomma mu tahu kalau kau masih merokok, mungkin kau akan digantung hidup-hidup" ujar Jeno, menatap sahabatnya yang juga sedang menghisap sebatang rokok disebelahnya.
"Ah tapi bukan hanya kau saja, mungkin aku juga akan ikut digantung" koreksinya.Haechan hanya tertawa menanggapinya.
Jeno teringat bagaimana orangtua Haechan dulu tidak menyukainya. Ya, dulu ketika Jeno masih menjadi Lee Jeno. Setelah ia memutuskan menjadi Lee Jein, orangtua Haechan lantas menjadi sangat terbuka untuknya. Bahkan kini ibu Haechan sudah mengganggapnya seperti anak sendiri.
Dan lucunya, bukan hanya Jeno yang harus bersandiwara, namun Haechan juga. Haechan harus menampilkan sisi baiknya didepan orangtuanya, agar mereka percaya bahwa "Jein" yang mereka kenal, membawa pengaruh baik untuk anak mereka."Makanlah" Haechan menyodorkan semangkuk Jjajangmyeon yang baru saja ia pesan direstoran china yang tak jauh dari rumahnya.
"Gomawo Haechan, you know me so well" Jeno menatap makanan dihadapannya dengan mata berbinar. Hanya bersama Haechan juga Jeno bisa menikmati makanan kesukaannya.
Lee Jein, anak itu tidak menyukai jjajangmyeon, makanan cepat saji, ataupun minuman bersoda, hingga akhirnya Jeno terpaksa jarang menyantap makanan atau minuman itu."Kau sudah tau akan mendaftar di universitas mana?" Pertanyaan Haechan hanya dijawab gelengan kepala oleh Jeno, mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Kau tidak akan mendaftar kedokteran, bukan?" Haechan kembali bertanya.
••
"Kedokteran. Jein sudah memutuskan, benar kan, Jein?" Lee Donghae, ayah Jeno langsung memotong pembicaraan saat Jessica bertanya mata kuliah apa yang akan Jeno ambil.
Jeno baru saja akan membuka mulut saat Donghae menatapnya tajam, seakan memaksanya sepakat dengan ucapannya barusan.
"Iya, aku akan mengambil kedokteran, eomma" ujar Jeno pada akhirnya. Padahal dalam hatinya menolak keras. Namun dia bisa apa? Toh selama ini ia memang hanya bisa mengikuti semua skenario yang Donghae buat.
Hubungan Jeno dan Donghae memang kurang baik, dan mungkin tidak akan bisa membaik. Terlebih lagi Donghae lah yang memaksa Jeno untuk hidup sebagai Jein.
Jeno masih ingat jelas dengan perkataan ayahnya, malam itu."Jika kau menyesal, maka kau harus menebusnya. Hiduplah sebagai Jein"
*Flashback*
Jeno membuka matanya perlahan, kepalanya terasa pening. Yang ia ingat terakhir hanyalah ia bersimpuh didepan Jein yang tergeletak penuh darah. Jeno perlahan, bangkit dari ranjangnya, lalu mencoba menguatkan dirinya untuk turun dan melangkah keluar, sembari menarik tiang infusnya. Ia harus melihat keadaan Jein. Namun langkahnya terhenti, mendengar suara ibunya, terdengar sedang menangis histeris, namun sesaat kemudian suara tangisan itu berhenti, rupanya ibunya jatuh pingsan. Jeno baru saja akan menghampiri ibunya yang sedang dikerumuni oleh beberapa perawat, saat sebuah tangan menariknya kembali masuk kedalam ruang rawatnya, dan itu adalah Donghae yang masih menggenakan jas dokternya. Jeno tersadar bahwa saat ini ia berada dirumah sakit tempat ayahnya bekerja.
"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Jein ada bersama mu dan melakukan balap liar?" Donghae meminta penjelasan.
"Dimana Jein? Aku harus menemuinya"
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat diwajahnya. Membuat kepalanya terasa makin sakit.
Donghae tampak sangat marah, terlihat jelas dari wajahnya yang memerah.
"Kau sudah membunuhnya, Lee Jeno" ujarnya pelan namun penuh penekanan. Donghae mendongak, mencoba menahan airmatanya agar tidak turun.Jeno terdiam. Ia bahkan tidak tahu harus berkata apa, dan harus melakukan apa. Ia luar biasa terpukul. Tubuhnya terhuyung, namun dengan sigap tangannya bertumpu pada ranjang.
"Kau tau betapa Eomma menyayangi Jein. Kau bisa bayangkan bagaimana jadinya jika Eomma tahu bahwa anak kesayangannya sudah tiada?" Donghae kembali membuka suara. "Kau tau sudah berapa kali Appa memperingatkan mu untuk berhenti dari semua kenakalan mu itu? Dan sekarang kau menyeret Jein ikut bersamamu dan membuatnya kehilangan nyawanya" suara Donghae meninggi.
"Maafkan aku-" hanya itu yang bisa Jeno katakan.
"Kalau kau menyesal, maka kau harus menebusnya. Hiduplah sebagai Jein"
Jeno menatap Donghae bingung. "Bagaimana bisa-"
"Kecuali kau ingin melihat Eomma mu sengsara, kau boleh menolak"
Jeno terpaksa patuh. Ia pikir ayahnya benar, ia harus menebus semua kesalahannya.
Donghae mengurus semuanya malam itu, mengatakan pada Jessica bahwa Jeno telah meninggal dikecelakaan itu, dan mengatakan bahwa Jein masih dalam masa perawatan sehingga selama seminggu, Jessica masih belum bisa menemuinya. Yang Jessica tak tahu, seminggu itu Jeno "disulap" menjadi Jein. Ia bahkan menjalani operasi kecil untuk menghilangkan bekas luka didahinya akibat jatuh dari pohon, saat ia masih disekolah dasar.
Hingga seminggu berlalu. Jeno sedang terduduk diranjang rumah sakit, saat Eomma nya melangkah masuk tergesa untuk menemuinya.
"Jein-ah" panggil Jessica pelan, lalu memeluk erat Jeno.
Entah saat itu Jeno harus senang atau sedih, Ibunya tidak mengenalinya lagi sebagai Lee Jeno*Flashback end*
To be continued . .
Akhirnya up juga part 2
Sorry kalo pendek, aku usahain part 3 cepet update deh 🤭🤭
Mungkin bakal ada beberapa kali flashback ya hhehe
oh iya,
Jangan lupa vote & comment :)
T H A N K Y O UBonus foto
Ganteng bangett
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Jeno [END]
General FictionLee Jeno, dipaksa untuk hidup sebagai saudara kembarnya Lee Jein. Dengan sifat yang berbeda jauh. Mampukah Lee Jeno?