"Jein-" Jaemin memanggil Jeno yang terdiam, dan tampak memucat. Tak mendapat respon apapun, Jaemin lantas mengguncang pelan bahu Jeno.
"Are you ok, Jein?" Tanya nya.
Jeno yang sedari tadi sibuk membuat prakarya seketika mematung saat Renjun, teman satu kelompoknya dengan tidak sengaja menggores tangannya sendiri dengan cutter, membuat lembar canvas yang sudah Jeno oles dengan cat air itu ikut terkena tetesan darah dari tangan Renjun. Renjun segera pergi ke UKS ditemani oleh Chenle, dan sekarang Jeno hanya berdua dengan Jaemin melanjutkan membuat prakarya untuk tugas kelompok mereka.
"Jein kau ken-"
Belum sempat Jaemin bertanya kembali, Jeno sudah bangkit berdiri dan berlari keluar meninggalkan ruang kelas. Untung saja guru mereka, Pak Yuta sedang tidak dikelas.Haechan yang berada dikelompok lain, bergegas mendatangi meja Jaemin saat melihat Jeno yang tiba-tiba saja berlari pergi.
"Ada apa dengan Jein?" Tanya Haechan pada Jaemin.
"Entahlah. Mungkin dia sakit, wajahnya tiba-tiba pucat" jelas Jaemin sembari mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka bekas darah Renjun.
Melihat beberapa tetes darah yang masih tersisa, Haechan dengan cepat menangkap apa yang sedang terjadi pada Jeno.
Darah. Jeno takut darah.••
Dugaan Haechan benar, Jeno ada ditoilet. Saat Haechan datang, Jeno sedang duduk bersandar pada dinding, setelah memuntahkan isi perutnya. Nafasnya memburu, matanya terpejam, dan tangannya mencengkeram erat baju seragamnya. Wajahnya tampak menahan sakit.
"Jeno-ya" Pekik Haechan. Untunglah saat itu toilet sedang kosong.
Haechan berlutut, mensejajarkan tubuhnya dengan Jeno.
"Tenang Jen. Tenang. Ambil nafas" perintahnya. Sebelumnya Haechan sudah pernah menghadapi Jeno saat serangan paniknya kumat, jadi Haechan sudah paham dengan apa yang seharusnya ia lakukan.
Tangan Haechan menarik tangan Jeno, membiarkan cengkeraman erat Jeno berpindah ketangannya. Bisa ia rasakan genggaman tangan Jeno begitu erat."Tarik nafas perlahan Jen"
"Sa-kit" hanya itu yang keluar dari mulut Jeno. Ia merasa dada nya seperti dihatam benda berat.
"Tatap aku, Jeno" pinta Haechan. Perlahan Jeno membuka matanya.
"Ikuti aku ya. Ambil nafas, lalu buang" Jeno mulai mengikuti Haechan, dan setelah beberapa menit berlalu, Jeno kini lebih tenang meskipun ia masih terlihat pucat."Kita ke UKS saja ya. Kau lebih baik istirahat dulu disana. Nanti aku yang ijin pada Pak Yuta"
••
Jeno bangun dari tidurnya saat bel tanda jam istirahat terdengar ditelinganya. Ia masih di UKS. Jeno tadi memilih tidur sejenak untuk menenangkan diri.
Sejujurnya sudah lama sejak serangan paniknya kumat. Tapi Jeno memang lemah jika melihat darah. Dulu ia tidak begitu. Hobinya saja berkelahi, melihat darah cukup biasa untuknya. Tapi semenjak ia melihat bagaimana Jein tergeletak penuh darah, ingatan itu terus terputar diotaknya sekarang setiap ia melihat darah, dan membuatnya terkena serangan panik.
Jeno tersenyum kecut. Melihat darah seperti itu saja ia sudah jadi seperti ini, bagaimana bisa ia mengambil mata kuliah kedokteran, yang berhubungan dengan bedah-membedah. Itulah salah satu mengapa sebenarnya Jeno tidak mau mengambil mata kuliah kedokteran, selain memang bukan itu minatnya.••
"Kau yakin tak apa-apa pulang sendiri? Aku bisa minta supir mengantarmu kok" ujar Haechan.
Jeno menggeleng. "Aku baik-baik saja, Chan" jelasnya. Ia tau jelas Haechan menghawatirkan keadaannya setelah kejadian pagi tadi.
"Baiklah. Kabari aku jika kau sudah sampai rumah"Jeno berjalan menyusuri jalanan dekat sekolahnya. Sejujurnya, keadaannya fisiknya sudah membaik tapi suasana hatinya masih belum. Ia ingin menyegarkan pikirannya sejenak sebelum pulang ke rumah. Jeno berhenti didepan sebuah cafe kecil yang sedang mengadakan pelatihan barista, tertulis dibrosur yang tertempel dikaca depan. Sudut bibir Jeno terangkat, ia tersenyum. Menjadi barista adalah mimpinya dulu, mimpi yang harus ia lenyapkan sekarang. Jeno menghabiskan 15 menit hanya untuk berdiri melihat aktifitas pelatihan yang ada didalam cafe hingga kehadirannya menarik perhatian salah seorang didalam. Seorang pria paruh baya keluar dari dalam cafe, menghampiri Jeno dan memberikan selembar brosur.
"Kalau kau ingin mendaftar, minggu depan akan ada pelatihan lagi" ujar pria itu.
Tangan Jeno menerima lembar brosur yang pria itu berikan, matanya tertuju pada biaya yang tertera. Cukup mahal. Dengan nominal segitu ia perlu meminta pada Ayahnya, dan tentu itu tidak mungkin terjadi.
"Baiklah. Terimakasih" Jeno kembali berjalan, meninggalkan cafe dan pria itu.Kini Jeno melangkah masuk kedalam sebuah game center. Ia ingat, dulu, sepulang sekolah, Jeno akan menghabiskan waktu disini hingga sore hari, membolos bimbingan belajar. Biasanya Jein akan mengomel dan pergi mengikuti bimbel sendiri, namun tetap merahasiakan fakta bahwa ia membolos, dari ayah mereka.
Jeno mendudukan diri disalah satu bangku kosong disana, memperhatikan anak-anak sekolah yang sedang asyik memainkan mesin game. Melihat mereka, rasanya ia ingin kembali ke masa dulu dimana kebebasannya belum direbut. Jeno menghela nafas berat, tempat itu begitu ramai, tapi kenapa Jeno merasa kosong?••
Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Jeno masih berkutat pada buku latihan soal. Siapa bilang mudah untuk Jeno menjadi seorang Jein? Jeno bukan termasuk murid yang pintar, berbeda dengan Jein yang hanya sekali mendengar gurunya menjelaskan saja, semua materi itu sudah masuk ke otak nya. Jeno belajar mati-matian demi menyamai levelnya dengan Jein.
Clek. Pintu kamar Jeno terbuka, Terlihat Donghae berdiri diambang pintu.
"Belum tidur?" Tanyanya.
Jeno hanya bergumam. Ia malas berinteraksi dengan ayahnya.
Donghae lantas melangkah masuk kekamar Jeno, mendekati meja belajar anaknya, dan meletakan sebuah map.
"Formulir pendaftaran SNU" jelas Donghae singkat, sebelum Jeno bertanya.*SNU : Seoul National University
"Aku tak berminat mendaftar" balas Jeno.
"Kau tau Appa tidak sedang memberikan tawaran. Ini perintah. Isi dengan lengkap. Ujian masuk akan diadakan pekan depan. Siapkan dirimu, Appa akan mengantarmu nanti" setelah mengatakan hal itu, Donghae kembali keluar dari kamar Jeno.
Jeno mengacak rambutnya frustasi.
Kebenciannya pada ayahnya semakin menjadi.
Ia harus mencari cara agar ia tidak perlu mengikuti keinginan ayahnya kali ini.To be continued
°°°
Haii akhirnya lanjut part 3 :)
Jangan lupa vote + comment ya, yang ga pelit vote & comment, aku doain ketemu biasnya 🤭🤭
Kritik & saran juga sangat diterima
Thankyouu 🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Jeno [END]
Ficção GeralLee Jeno, dipaksa untuk hidup sebagai saudara kembarnya Lee Jein. Dengan sifat yang berbeda jauh. Mampukah Lee Jeno?